A. Pendahuluan
Isu kepatuhan pajak dimulai sejak pajak itu sendiri ada (Andreoni et al. 1998) dan tidak akan sirna (Lederman 2003). Oleh karenanya, tidak ada satupun otoritas perpajakan yang kebal dari masalah kepatuhan pajak. Bahkan, secara paradoksal dikatakan kepatuhan pajak membawa sebuah dilema sosial: insentif yang diterima oleh sekelompok orang yang tidak patuh pajak (tax evader)—dengan menjadi free rider—mencapai titik puncaknya ketika sebagian besar masyarakat adalah pembayar pajak yang taat (Braak 1983). Mengapa? Karena uang pajak umumnya digunakan untuk pembiayaan barang dan jasa publik yang bersifat non-excludable (Stiglitz 2000). Dalam kondisi seperti ini, membatasi secara efektif kelompok tax evader agar tidak dapat menikmati fasilitas publik (misalnya dengan melarang mereka menggunakan jembatan atau jalan raya) adalah sebuah kemustahilan.
Salah satu faktor kunci terkait isu kepatuhan pajak adalah lebarnya kesenjangan informasi (asymmetric information) antara wajib pajak dan otoritas pajak. Dari sudut pandang self-assessement, keberadaan informasi yang tidak simetris ini setidaknya membawa tiga implikasi negatif. Bagi wajib pajak, hal ini cenderung mendorong mereka untuk berperilaku tidak patuh. Disisi lain, bagi otoritas pajak, keterbatasan informasi tidak hanya membuat otoritas pajak kesulitan mengungkap perilaku tidak patuh, tapi juga menghambat mereka ketika harus memberikan pelayanan terbaik bagi wajib pajak yang berhak mendapatkan.
Tulisan ini akan membahas apa dan bagaimana implikasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (Perppu) terhadap perilaku kepatuhan pajak. Perppu ini mengatur tentang pemberian informasi keuangan oleh pihak ketiga kepada otoritas pajak Indonesia, DJP. Konteks utama pembahasan tulisan ini adalah pajak penghasilan dan perilaku kepatuhan wajib pajak Orang Pribadi (WP OP). Selain itu, fokus kajian tulisan ini adalah ‘inward-looking‘ atau lebih menekankan pada isu domestik daripada isu global.
B. Implikasi information reporting terhadap kepatuhan pajak
B.1 Contoh kasus di Amerika
Mungkin diantara kita ada yang bertanya: adakah implikasi pemberian informasi keuangan (oleh pihak ketiga kepada otoritas pajak) terhadap tingkat kepatuhan pajak? Kita akan membahas hal ini sebagai titik awal diskusi kita—dengan mengambil contoh kasus di Amerika.
Amerika dipilih karena dianggap sebagai salah satu negara yang masyarakatnya telah mengenal ‘budaya pajak’ (tax culture) karena memiliki sejarah perpajakan yang cukup lama (Efebera et al. 2004). Selain itu, Amerika adalah negara yang memiliki voluntary compliance rate (VCR) yang relatif tinggi. Otoritas pajak Amerika (IRS) misalnya, selama rentang waktu 2008-2010 menyatakan bahwa pajak yang terkumpul secara ’voluntary’ adalah 83% (IRS 2016). Nilai VCR adalah nilai 1 dikurangi dengan rasio tax gap bruto.
Salah satu indikator yang populer untuk menggambarkan tingkat ketidakpatuhan pajak adalah tax gap. Tax gap dalam hal ini didefinisikan sebagai ‘perbedaan antara besaran pajak (penghasilan) yang diterima oleh otoritas pajak dengan yang seharusnya dilaporkan dan dibayarkan secara tepat waktu oleh wajib pajak’ (Andreoni et al. 1998, hal. 819). Definisi seperti ini, selain diadopsi oleh Amerika juga digunakan oleh Australia (ATO, 2016).
Menggunakan nilai APBN kita sebagai pembanding, besaran tax gap di Amerika sangatlah besar. Laporan kantor pajak Amerika, IRS, pada tahun 2012 lalu menyebutkan bahwa besarnya tax gap untuk tahun fiskal 2006 adalah senilai Rp 5.850 T. Terlebih lagi, jumlah ini hanya bersifat domestik dan tidak mencakup international tax gap. Apa yang menarik dari laporan ini?
Laporan IRS ini membagi beberapa jenis tax gap berdasarkan tingkat visibilitas dari bermacam sumber penghasilan. Dalam hal ini, tingkat visibilitas mengindikasikan banyaknya informasi yang diterima oleh IRS. Dalam hal ini, dari perspektif otoritas pajak, seorang pengusaha cenderung dianggap memiliki income visibility yang rendah, sementara pegawai (jika sebagian besar penghasilannya dipotong oleh pemberi kerja) diperlakukan sebagai wajib pajak dengan kategori ‘high income visibility’.
Fokus pada wajib pajak orang pribadi (WP OP) dan underreporting gap untuk tahun pajak 2006, laporan ini menunjukkan betapa krusialnya pemberian informasi oleh pihak ketiga (information reporting) terhadap tingkat ketidakpatuhan pajak. Di Amerika, selain ada mekanisme pemotongan pajak oleh pihak ketiga (withholding tax), diatur juga mekanisme information reporting kepada IRS. Data transaksi keuangan yang harus dilaporkan oleh pihak ketiga disini misalnya pembayaran uang pensiun, tunjangan untuk pengangguran, dividen, pendapatan bunga, tunjangan sosial, dan capital gain.
Seperti terlihat dalam Gambar 1, ada tiga empat kategori jenis penghasilan jika dikaitkan dengan mekanisme withholding dan information reporting:
- Witholding dan substantial information reporting (misalnya untuk gaji dan upah);
- Substantial information reporting (misalnya untuk pembayaran dividen dan pendapatan bunga);
- Some information reporting (misalnya biaya pengurang fiskal dan capital gain); dan
- Little or no information reporting (misalnya penghasilan sewa/royalti dan penghasilan lain-lain).
Hasil kajian dari National Research Program (NRP) ini menunjukkan bahwa penghasilan yang terkena mekanisme withholding memiliki besaran underreporting gap sebesar Rp 143 T dengan rasio net misreporting (perbedaan jumlah yang tidak dilaporkan dengan jumlah yang seharusnya dilaporkan) hanya 1%. Besaran tax gap sedikit meningkat ketika penghasilan tidak terkena mekanisme withholding tapi masuk dalam kategori substantial information reporting: nilai tax gap Rp 156 T dengan net misreporting rasio 8%. Jumlah ini menjadi meningkat lagi ketika penghasilan masuk dalam kategori some information reporting; besaran tax gap meningkat menjadi Rp 832 T dengan rasio net misreporting 11%.

Apa yang terjadi ketika sedikit atau sama sekali tidak ada informasi yang diberikan oleh pihak ketiga ke IRS?
Disinilah indikasi kuat adanya korelasi antara income visibility dengan tax gap terjadi. Penghasilan yang tidak terkena mekanisme information reporting tidak hanya memberikan besaran tax gap yang paling besar (Rp 1.560 T), tapi juga memiliki rasio net misreporting tertinggi (56%). Dengan kata lain, ketika tidak ada informasi yang dilaporkan oleh pihak ketiga ke otoritas pajak, wajib pajak hanya melaporkan kurang dari separo penghasilan mereka yang sebenarnya (44%).
Apa hubungannya hal ini dengan kemampuan otoritas pajak dalam menjalankan fungsinya?
B.2 Hubungan kemampuan otoritas pajak dengan jenis perilaku kepatuhan
Mungkin sebagian dari kita akan bertanya: jika Amerika memiliki tingkat kepatuhan pajak yang relatif tinggi (dengan nilai VCR dikisaran 83%), bagaimana bisa masih ada sekelompok WP orang pribadi yang hanya melaporkan 44% dari penghasilan mereka yang sebenarnya?
Kita akan menggunakan ilustrasi pada Gambar 2 untuk menjelaskannya. Perlu dicatat sebelumnya, IRS mendefinisikan kepatuhan sukarela dalam konteks ‘the absence of any enforcement activities’ (IRS 2009). Dengan menggunakan Gambar 2 sebagai referensi—jika kita mengabaikan besaran audit rate terhadap WP OP yang hanya sekitar 1%—besaran VCR 83% secara konseptual berada di kuadran (1) dan (2). Area ini mencakup wajib pajak yang memiliki niat awal patuh dan tidak patuh pajak. Namun, karena tingginya administrative effectiveness yang dimiliki otoritas pajak, resultan perilaku keduanya adalah compliant; meskipun dengan spektrum yang berbeda: deliberate dan accidental.
Secara konseptual, sebagian besar perilaku accidentally compliant adalah hasil dari mekanisme withholding dan information reporting. Mekanisme withholding akan membuat potential tax evader tidak memiliki kesempatan untuk melakukan underreporting (misalnya sangat kecil kesempatan bagi seorang pegawai berniat untuk tidak membayar pajak karena pajaknya sudah dipotong oleh pemberi kerja). Sementara, tingginya visibilitas penghasilan sebagai akibat mekanisme information reporting akan membuat potential tax evader berpikir ulang untuk melakukan underreporting. Variabel ini secara akademis sering disebut sebagai ‘perceived behavioral control’ dan akan kita bahas lebih mendalam sebentar lagi.

Masih merujuk ke Gambar 2, di kuadran mana kira-kira mereka yang hanya melaporkan 44% penghasilan aktual mereka? Ada dua pilihan. Terlepas dari apapun alasan mereka, secara konseptual perilaku kepatuhan mereka berada di kuadran (3) atau (4). Lebih lanjut, jika merujuk pada laporan yang disajikan oleh IRS (Gambar 1), sebagian besar dari mereka adalah wajib pajak yang berada diluar jangkauan mekanisme withholding atau information reporting. Ini memperkuat hipotesis yang menyatakan bahwa pengusaha secara umum memiliki tingkat kepatuhan pajak yang lebih rendah dibanding mereka yang memiliki penghasilan dari gaji atau upah semata (lihat misalnya, Witte dan Woodbury 1985; Morse et al. 2009). Fenomena ini juga yang mendasari, misalnya, otoritas pajak Australia untuk membentuk tim khusus bernama Cash Economy Task Force (CETF)—yang kemudian diikuti dengan kajian yang lebih mendalam oleh Cash Economy Advisory Group dan Cash Economy Community Research—untuk mendapatkan pemahaman yang utuh terkait perilaku wajib pajak yang berada di luar mekanisme information reporting.
Mungkin kita mudah memahami bahwa implikasi withholding—karena menghilangkan kesempatan si penerima penghasilan untuk melakukan underreporting—akan secara mudah mendorong wajib pajak menjadi compliant. Meskipun tidak harus selalu secara sukarela. Toh istilah ‘sukarela’ dalam konteks pemungutan pajak bisa disebut sekedar mitos. Setidaknya, istilah yang lebih tepat menurut Lederman (2003) adalah ‘voluntary compulsion’ atau ‘quasi-voluntary’ jika merujuk ke World Bank (2009). Tapi, mungkin timbul pertanyaan, apakah mekanisme information reporting memang dapat mencegah wajib pajak melakukan underreporting? Bagaimana penjelasannya?
Kita akan membahas hal ini lebih dalam di bagian berikut.
C. Bagaimana Perppu mempengaruhi perilaku wajib pajak?
C.1 Tinjauan teoritis
Di Gambar 2 kita bisa melihat bahwa niat wajib pajak (intention) memegang peranan yang sangat penting dalam diskusi mengenai kepatuhan pajak. Pendapat ini didukung oleh banyak pihak (lihat, misalnya, Bird 2015; OECD 2014; World Bank 2015).
Bird (2015, hal. 31), misalnya, mengatakan, “countries exhibit a wide variety of tax compliance levels, reflecting not only the effectiveness of their tax administrations but also taxpayer attitudes towards taxation and towards government in general. Attitudes affect intentions and intentions affect behaviour.”
Hal ini pernah ditulis oleh Alan Lewis (1982) dalam bukunya the Psychology of Taxation. Dia menyatakan bahwa ada kecenderungan tindakan seseorang merupakan refleksi dari karakter yang dimilikinya: ideologi, sistem nilai, sikap hidup, dan niat. Namun, dia menyatakan bahwa niat untuk melakukan sesuatu (behavioral intentions) adalah the closest behavioural proxy dari sebuah perilaku. Dengan kata lain, tindakan seseorang bisa diprediksi dari niat awalnya. Hal ini bisa diilustrasikan dalam Gambar 3 (Lewis 1982, hal. 67).

Namun demikian, perlu dicatat bahwa dalam konteks perilaku kepatuhan pajak, niat tidak selalu linier dengan perilaku kepatuhan yang dihasilkan. Masih ingat bukan dengan diskusi sebelumnya bahwa seorang pegawai dapat memiliki resultan perilaku kepatuhan ‘accidentally compliant’ karena tidak memiliki kesempatan untuk tidak patuh? Atau, misalnya, ada wajib pajak yang ingin patuh tapi tidak dapat memahami secara komprehensif ketentuan perpajakan dan mengakibatkan SPT Tahunan yang dia laporkan tidak benar. Sebagaimana dinyatakan kuadran (2) dan (3) dalam Gambar 2, fenomena ini disebut oleh World Bank (2015) sebagai ‘intention-action divide’.
Apa implikasi Perppu disini? Seperti telah dijelaskan sebelumnya, berperan mengatur mekanisme information reporting, aturan ini akan mempersempit senjang informasi antara otoritas pajak dengan wajib pajak. Bagi otoritas pajak, informasi yang disuplai oleh pihak ketiga ini akan setidaknya berpotensi meningkatkan efektivitas pemeriksaan pajak. Dan yang lebih penting lagi, rendahnya audit coverage ratio (ACR) otoritas pajak Indonesia (DJP) harus diimbangi dengan efektivitas pemeriksaan. Sebagai gambaran, pada tahun 2014 misalnya, target ACR untuk WP Orang Pribadi hanya o,1%.
Efektivitas pemeriksaan menjadi sangat penting karena efek tidak langsung dari pemeriksaan (indirect deterrent effect) cenderung lebih besar dari efek langsung pemeriksaan berupa tambahan penerimaan pajak (Lederman 2010). Dalam konteks Amerika misalnya, IRS menyebutkan bahwa indirect detterent effect dari pemeriksaan adalah 11,7 kali lipat lebih besar dari efek langsung pemeriksaan. Ini karena pemeriksaan akan mengubah persepsi mengenai probability of getting caught yang pada ujungnya mengubah keputusan perilaku kepatuhan pajak.
Sampai di titik ini kita dapat memahami bahwa bagaimana persepsi yang dimiliki wajib pajak memiliki peranan yang sangat krusial dalam mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak. Bahkan, OECD (2014) memasukkan public perception sebagai salah satu elemen kunci external factors yang membentuk tingkat kepatuhan pajak.
Dalam konteks ini, seperti telah dijelaskan sebelumnya di bagian B.2, mekanisme information reporting sebagaimana diatur dalam Perppu dapat mempengaruhi tingkat perceived behavioral control wajib pajak untuk melakukan underreporting. Pertanyaannya, bagaimana hal ini dapat terjadi?
Diantara banyak teori perilaku, salah satu teori yang menjelaskan bagaimana manusia sebagai makluk sosial berperilaku adalah theory of planned behaviour (TPB) (Gambar 4). Dimodifikasi dari theory of reasoned action (TRA), teori psikologi sosial ini secara konseptual menghubungkan tiga variabel kunci (attitudes towards behaviour, subjective norms, dan perceived behavioural control) dengan niat dan perilaku untuk memahami dan memprediksi perilaku manusia (Fishbein dan Ajzen 2010).
Salah satu poin menarik dari TPB ini adalah teori ini dapat ‘membaur’ dengan pendekatan yang saat ini berkembang dalam riset kepatuhan pajak: behavioral economics. Ini karena, TPB tidak mengasumsikan bahwa orang akan selalu bertindak rasional dalam perilaku mereka. Konsepsi TPB memiliki pandangan bahwa perilaku manusia pada dasarnya berasal dari keyakinan dasar (salient beliefs) yang dimiliki. Keyakinan tentu saja bersifat subyektif. Pandangan bahwa ‘rasionalitas’ bukan faktor kunci utama dalam memahami perilaku manusai mendapat dukungan banyak pihak (lihat misalnya, Cialdini 1989; Eveland & Glynn 2008; Kornhauser 2007; World Bank 2015).

Satu-satunya variabel pembeda antara TPB dengan TRA adalah keberadaan elemen perceived behavioural control (PBC).
Elemen PBC inilah yang tampaknya membuat TRA tidak populer di kalangan peneliti perilaku kepatuhan pajak—bahkan sempat dianggap kontradiktif (lihat misalnya, McKerchar 2003). Hal ini karena TRA tidak dapat merepresentasikan dinamika perbedaan situasi yang secara nyata dialami oleh, misalnya, WP OP Usahawan (yang cenderung memiliki low income visibility) dengan WP OP Karyawan (yang memiliki high income visibility). Atau realita bahwa, karena kompleksitas aturan perpajakan, bagi sebagian orang memenuhi kewajiban pajak bukanlah sesuatu yang mudah.
Penambahan elemen PBC inilah yang kemudian tampaknya menjadikan TPB populer dalam penelitian perilaku dengan pendekatan psikologi sosial. Bahkan, teori ini sempat mendapat skor scientific impact tertinggi di kalangan peneliti sosial Amerika dan Kanada (Nosek et al. 2010). Namun demikian, perlu dicatat bahwa teori ini belum banyak diterapkan dalam riset terkait perilaku kepatuhan perpajakan (Langham et al. 2012).
Dalam konteks PBC inilah diskusi mengenai implikasi information reporting terhadap perilaku kepatuhan pajak akan dibahas lebih dalam. Ini karena, banyak ahli menyatakan bahwa ‘income visibility’ dan ‘opportunity to evade’ adalah faktor kunci dalam menjelaskan perilaku ketidakpatuhan pajak (lihat misalnya Kirchler 2007; Lederman 2010; OECD 2004).
Dari perspektif PBC, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Wajib pajak memerlukan situasi atau kemampuan tertentu (sufficient volitional control) untuk dapat merelasasikan niat mereka melakukan sesuatu. Karena untuk mengukur kemampuan ini secara aktual seringkali tidak praktis karena susah untuk diketahui, sebagai alternatif persepsi mengenai kendali atau kemampuan seseorang untuk melakukan suatu tindakan—disebut perceived behavioral control—dijadikan sebagai ukuran. Dalam konteks kepatuhan pajak, variabel ini menunjukkan tingkat kendali yang dimiliki oleh wajib pajak untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu, misalnya melaporkan secara jujur penghasilan yang sebenarnya ke otoritas pajak.
Lebih detail, menurut Fishbein dan Ajzen (2010), PBC berkaitan erat dengan ‘control belief’ seseorang terkait: (i) kemampuan; (ii) kesempatan; (iii) ketersediaan informasi atau sumber daya lain; dan (iv) hambatan dalam melakukan perilaku tertentu. Sebagai ilustrasi, jika kita ingin mengukur control belief wajib pajak terkait perilaku underreporting, kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan, antara lain, sebagai berikut (Fishbein dan Ajzen 2010, hal. 156):
Dari pertanyaan diatas, kita mungkin bisa dengan mudah memahami bahwa keberadaan Perppu (dan aturan teknisnya berupa PMK Nomor 70 Tahun 2017 yang mengatur bahwa saldo bank minimal Rp 200 juta harus dilaporkan ke DJP) akan membuat potential tax evaders (yang berada di kuadran (4) di Gambar 2) berpikir ulang ketika harus menjawab pertanyaan diatas. Disisi lain, jika kita merujuk pada diskusi sebelumnya tentang kasus di Amerika, sangat besar kemungkinan mereka yang berada diluar mekanisme information reporting, akan memiliki nilai PBC yang cenderung tinggi dalam menjawab pertanyaan diatas.
Singkat kata, keberadaan aturan mengenai akses informasi untuk kepentingan perpajakan akan merubah tingkat PBC untuk melakukan penggelapan pajak menjadi lebih rendah dari semula. Dengan kata lain, aturan ini setidaknya akan membuat deliberaty non-compliant taxpayers berpikir dua kali jika ingin melakukan income underreporting lagi.
Situasi ini, jika merujuk ke TPB (Gambar 4), akan dapat mempengaruhi niat wajib pajak yang pada awalnya berada di kuadran 4 (deliberately non-compliant) untuk pindah ke kuadran 1 (deliberately compliant)—jika akhirnya wajib pajak tersebut berniat untuk patuh—atau 2 (accidentally compliant)—jika wajib pajak tersebut tetap memiliki niat tidak patuh. Terlebih lagi, jika kita merujuk data LPS (2017), aturan teknis terkait Perppu ini hanya akan berlaku bagi kurang dari 2,5 juta WP Orang Pribadi (yang memiliki saldo minimal Rp 200 juta). Disini, dengan pendekatan risk management yang efektif, otoritas pajak dapat lebih fokus untuk mengawasi mereka. Misalnya, fokus pada wajib pajak yang tidak berpartisipasi dalam program tax amnesty yang pesertanya kurang dari 1 juta wajib pajak. Perubahan niat ini, sesuai konsepsi TPB, akan dapat merubah perilaku wajib pajak.
Pertanyaannya, apakah memang ada bukti empiris yang mendukung argumen bahwa terhadap hubungan yang kuat antara variabel PBC melakukan underreporting dengan niat untuk patuh?
C.2 Bukti pendukung empiris
Secara empiris, deskripsi tentang kasus di Amerika diatas jelas menunjukkan adanya korelasi negatif yang kuat antara keberadaan information reporting dengan perilaku underreporting. Dalam konteks Indonesia, korelasi ini juga tercermin dari hasil tax amnesty (TA) yang berakhir tanggal 31 Maret 2017 kemarin. Secara implisit tampak adanya hubungan yang erat antara ketiadaan akses informasi yang dimiliki oleh DJP dengan masifnya nilai harta yang dideklarasikan (yang besarnya mencapai sekitar Rp 5000 T dan sekitar 59% (Rp 2900 T) diantaranya adalah aset keuangan). Bahkan, data juga menunjukkan bahwa kelompok harta terbesar yang dideklarasikab adalah kas dan setara kas: Rp 1.336 T. Dengan mayoritas peserta adalah WP OP, program TA ini menunjukkan tidak adanya akses data atau informasi yang membuat otoritas pajak Indonesia mampu mengidentifikasi dan mendeteksi ketidakpatuhan pajak yang tampaknya telah lama terjadi.
Tapi kedua contoh tadi hanya menunjukkan hubungan yang bersifat korelasi, bukan kausalitas.
Konsepsi TPB dalam Gambar 4 diatas menunjukkan bahwa hubungan antara PBC dan niat untuk patuh adalah bersifat kausal. Dalam konteks ini, studi yang dilakukan oleh Rosid et al. (2017) di Indonesia setidaknya mengkonfirmasi hal ini. Hasil dari studi yang dilakukan terhadap hampir 400 WP Orang Pribadi ini menunjukkan bahwa terdapat tiga poin penting yang terkait topik tulisan ini. Pertama, studi ini menunjukkan bahwa WP OP Usahawan secara signifikan memiliki skor PBC yang lebih tinggi (M = 4,56) dibanding WP OP Karyawan (M = 3,12, skor tertinggi 7). Kedua, seperti terlihat dalam Gambar 5, terdapat hubungan kausal yang negatif antara variabel PBC over underreporting income dengan niat untuk melaporkan besaran penghasilan yang sebenarnya dengan nilai path coefficient berkisar antara minus 0,16 s.d minus 0,24. Nilai path coefficient yang minus ini menunjukkan bahwa kenaikan skor PBC akan menurunkan niat wajib pajak untuk melaporkan penghasilan yang sebenarnya.

Ketiga, mengkonfirmasi konsepsi TPB, niat dapat digunakan untuk memprediksi perilaku. Dalam hal ini, hasil studi ini menemukan adanya hubungan kausal positif antara variabel intention to report actual income dengan variabel level of reported income, dengan nilai path coefficient sebesar 0,55.
Sampai di titik ini, kita mungkin dapat melihat gambaran yang utuh bahwa Perppu yang baru saja diterbitkan pemerintah memiliki potensi untuk mempersempit ruang gerak WP yang tidak patuh, tidak hanya dengan memberikan amunisi informasi bagi DJP ketika melakukan pengawasan dan penegakan hukum, tapi juga dengan menurunkan tingkat perceived behavioural control dari WP yang selama ini mungkin melakukan underreporting dalam kewajiban pajak mereka.
D. Kesimpulan
Dua peneliti pajak, Antonides and Robben (1995, hal. 617) menyebutkan: “taxpayers’ willingness and ability to conceal income from the tax authorities are key factors with respect to tax evasion.” Lebih lanjut, OECD (2010, hal. 10) menambahkan bahwa upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak adalah upaya tentang “increasing the willingness to comply and about enforcing the law if necessary.” Jelas disini bahwa niat wajib pajak dan kemampuan mereka untuk menyembunyikan penghasilan adalah faktor kunci dalam memahami perilaku ketidakpatuhan pajak.
Dua poin inilah yang dibahas lebih mendalam untuk memahami implikasi Perppu Nomor 1 Tahun 2017 terhadap perilaku kepatuhan pajak. Kasus di Amerika yang menunjukkan keterkaitan antara mekanisme information reporting dengan underreporting gap ditilik sebagai pembuka. Selanjutnya, gambaran mengenai pentingnya kemampuan otoritas pajak dalam menangkal bermacam perilaku ketidakpatuhan dibahas secara singkat. Menyusul kemudian diskusi inti yang mengambil dua sudut pandang: teoritis dan empiris. Mengambil dari dua sudut pandang, tulisan ini menyimpulkan bahwa keberadaan Perppu, meski jelas bukan panacea, jika dikelola dengan baik dan efektif, akan memiliki potensi untuk meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia. Melalui dua sisi.
Di sisi wajib pajak, keberadaan Perppu ini akan menurunkan tingkat perceived behavioural control untuk melakukan underreporting. Khususnya bagi mereka yang saat berada dalam kategori potential tax evaders. Perubahan ini akan mempengaruhi niat mereka untuk patuh. Kajian teoritis menunjukan perubahan niat akan berkorelasi dengan perubahan perilaku. Dari sisi otoritas pajak, mekanisme information reporting akan membuat DJP memiliki amunisi informasi untuk melakukan identifikasi deteksi, dan sekaligus eksekusi perilaku tidak patuh pajak. Diramu dengan manajemen risiko yang efektif, efek jera dari tindakan ini akan dapat memberi daya ungkit yang siginifikan untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Di sisi lain, dengan kesenjangan informasi yang semakin menyempit antara wajib pajak dengan otoritas pajak, DJP akan dapat berupaya meningkatkan pelayanan terbaiknya bagi wajib pajak dengan memperlakukan mereka sebagai ‘trusted clients’.
Terakhir, sebagai refleksi dari penggunaan pendekatan teoritis dan empiris dalam tulisan ini, kutipan berikut saya pikir tepat untuk digunakan sebagai penutup:
“Believe those who are seeking the truth. Doubt those who find it”
—Andre Gide (1869-1951)