Memahami dinamika kepatuhan pajak: Sebuah pengantar

Immanuel Kant

A. Pendahuluan

Kita mungkin sering mendengar istilah ‘kepatuhan pajak’—sebuah istilah yang populer bagi petugas pajak, wajib pajak (WP), konsultan pajak dan juga akademisi dibidang perpajakan. Tetapi, sebenarnya apa yang dimaksud dengan istilah ‘kepatuhan pajak’?

Ini mungkin pertanyaan yang sederhana bagi sebagian orang, tetapi tidak bagi sebagian yang lain. Mengapa demikian? Tulisan ini akan membahas secara singkat bagaimana definisi kepatuhan pajak dibangun dari dua perspektif yang berbeda dan bagaimana dinamika kepatuhan pajak dapat dipahami secara lebih mendalam. Konteks utama pembahasan dalam tulisan ini adalah WP Orang Pribadi (WP OP) dan Pajak Penghasilan.

B. Pendekatan umum (commonsense) vs pendekatan ilmiah (science)

Bagi sebagian orang, kepatuhan pajak akan diartikan sebagai situasi dimana wajib pajak memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Karena definisi yang sepertinya terlalu longgar, dalam konteks self-assessment, banyak yang kemudian mereduksinya menjadi dua jenis: kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal seringkali dikaitkan dengan pemenuhan yang sifatnya prosedural, misalnya penyampaian surat pemberitahuan (SPT) Tahunan—oleh karenanya bisa juga disebut sebagai kepatuhan administratif (administrative compliance) (OECD, 2001). Disini, misalnya, kita bisa dengan mudah mengukur tingkat kepatuhan formal penyampaian SPT dengan cara membandingkan jumlah wajib pajak memiliki kewajiban menyampaikan SPT dengan jumlah SPT yang diterima oleh otoritas pajak pada suatu titik waktu.

Sementara, kepatuhan material cenderung merujuk pada kebenaran pengisian SPT yang berkaitan dengan jumlah pajak yang harus dibayar—bisa juga disebut sebagai kepatuhan teknis (technical compliance). Inilah jenis kepatuhan yang ingin diukur oleh otoritas pajak Amerika Serikat (IRS) melalui program Taxpayer Compliance Measurement Program (TCMP) pada tahun 1982. Program ini bertujuan untuk mengukur besarnya tax gap—perbedaan antara jumlah pajak yang seharusnya dibayar oleh wajib pajak dengan yang secara aktual diterima oleh otoritas pajak. Program ini secara signifikan menambah biaya kepatuhan (compliance cost) dari wajib pajak yang diperiksa. Dan, karena karena banyaknya keluhan dari wajib pajak, program ini dihentikan pada tahun 1988. Diganti dengan National Research Program (NRP). Kegiatan pemeriksaan pajak oleh IRS didasarkan pada sebuah formula rahasia bernama Discriminant Inventory Function (DIF) untuk mengidentifikasi wajib pajak yang akan diperiksa. Penggunaan DIF ini tetap berlaku dan sampai saat ini, selain IRS, tidak ada yang mengetahui bagaimana formula ini disusun. Sebagai proxy utama dari tingkat kepatuhan material, underreporting gap merupakan jenis tax gap yang paling susah diukur (IRS, 2009). Mengapa demikian? Kita akan menggunakan poin ini sebagai titik tolak diskusi awal kita.

Secara garis besar, bisa dikatakan ada dua pendekatan yang bisa kita gunakan untuk memahami dinamika kepatuhan pajak: umum (common sense) atau ilmiah (science). Untuk memahami kepatuhan formal misalnya, mungkin pengetahuan yang bersifat umum sudah cukup. Tetapi, untuk memahami kepatuhan material, pendekatan common sense saja tidak cukup. Sebagai gantinya, pengetahuan yang bersifat ilmiah lebih diperlukan. Apa perbedaan keduanya? Secara sederhana, perbedaan keduanya dapat dijelaskan di tabel 1 berikut ini:

2017 05 23 - Common sense vs science
Tabel 1: Perbedaan pendekatan common sense dan science

Dari perbandingan diatas, tampak bahwa dalam praktek pendekatan common sense lebih sering digunakan. Di Indonesia misalnya, karena ketersediaan data dan lebih mudah dihitung, besaran filing ratio lebih sering digunakan sebagai ukuran tingkat kepatuhan dibandingkan besaran tax gap. Dan ini bukan sesuatu yang unik. Bahkan, bisa dikatakan belum banyak advanced economies yang diketahui secara resmi menggunakan pendekatan tax gap dalam mengukur tingkat kepatuhan, seperti misalnya, ATO (Australia), HMRC (Inggris), IRS (Amerika), SKAT (Denmark), dan SNTA (Swedia). Itupun, otoritas pajak memerlukan waktu yang relatif lama untuk melakukan analisis data. IRS misalnya, baru selesai melakukan analisis dan mempublikasikan besaran tax gap tahun pajak 2001 pada tahun 2006, dan tahun pajak 2006 pada tahun 2012 (IRS, 2012).

Jika kita melihat lebih jauh secara kritis, meski beberapa otoritas pajak di beberapa negara tersebut sudah menggunakan bermacam metode dalam menghitung tax gap (misalnya, micro vs macro methods, top-down vs bottom-up approaches), hasil kajian tersebut belum bisa menangkap secara utuh realitas dinamika perilaku kepatuhan pajak.

Mengapa demikian?

Karena, jika kita menggunakan pendekatan science, kita akan menemukan bahwa ketidakpatuhan pajak (yang disengaja) bukanlah satu-satunya penyebab timbulnya tax gap. Kepatuhan pajak, karena melibatkan perilaku manusia, adalah hasil dari proses yang kompleks. Bahkan sampai saat ini, secara akademis, belum ada konsensus mengenai apa yang dimaksud dengan perilaku patuh pajak. Kompleksitas perilaku kepatuhan pajak setidaknya bisa tergambar dalam resultan perilaku kepatuhan pajak dalam tabel 2 berikut:

Tabel 2 - Resultant behaviour
Tabel 2: Variasi resultan perilaku kepatuhan pajak

Dari tabel tersebut dapat kita pahami bahwa kepatuhan pajak bukanlah sesuatu yang biner: patuh atau tidak patuh. Artinya, sebagai resultan, baik kepatuhan maupun ketidakpatuhan pajak tidak selalu merefleksikan niat awal wajib pajak. Sebagai contoh misalnya, karena ketidaktahuan, seorang wajib pajak mungkin memasukkan unsur biaya yang seharusnya tidak boleh dikurangkan secara fiskal. Dalam hal ini, resultan perilaku kepatuhan dia adalah unintentionally under-compliant. Jika sebaliknya yang terjadi—wajib pajak (karena lupa atau tidak tahu) tidak memasukkan biaya yang seharusnya boleh dikurangkan sebagai biaya fiskal, maka resultan perilaku kepatuhan pajaknya adalah unintentionally over-compliant. Lederman (2003) menamakan fenomena seperti ini ‘innocent mistakes’. Sedikit banyak tentang fenomena ini pernah dibahas di tulisan sebelumnya tentang hubungan kepatuhan pajak dan tax amnesty yang berakhir Maret tahun ini (2017).

Begitu juga jika sejak awal wajib pajak memiliki niat untuk tidak patuh, resultan dari perilaku ketidakpatuhannya juga bervariasi. Misalnya, seorang pegawai yang seluruh penghasilannya merupakan obyek PPh Pasal 21, karena tidak memiliki kesempatan untuk melakukan income underreporting, maka resultan perilaku kepatuhannya adalah unintentionally compliant. Namun, jika misalnya, karena merasa memiliki sumber penghasilan yang ‘low visibility’, seorang pengusaha mungkin berniat tidak melaporkan penghasilan yang sebenarnya atau melaporkan biaya fiskal fiktif. Jika hal ini terjadi, maka resultan perilaku kepatuhan yang terjadi adalah intentionally under-compliant. Selanjutnya, dalam hal apa terjadi intentionally over-compliant? Apakah Anda pernah mendengar ada wajib pajak yang—karena alasan tertentu, misalnya menghindari pemeriksaan rutin—melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan Kurang Bayar (SPT KB) meskipun seharusnya dia melaporkan SPT Lebih Bayar (SPT LB)? Meski resultan dari perilaku ini adalah compliant, namun secara ex ante (niat awal) ini adalah perilaku non-compliant.

Timbul pertanyaan, bagaimana kita mengetahui resultan perilaku kepatuhan wajib pajak? Disinilah permasalahan awal mulai muncul. Pertama, selain wajib pajak sendiri, tidak ada yang bisa mengetahui niat perilaku patuh wajib pajak. Terlepas dari itu, niat adalah sesuatu yang tidak konstan. Kedua, dalam praktik, karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki, tidak mungkin otoritas pajak memiliki kemampuan untuk mengetahui secara pasti resultan perilaku kepatuhan wajib pajak—yang umumnya dilakukan melalui proses pemeriksaan. IRS misalnya, setiap tahun hanya bisa melakukan pemeriksaan kurang dari 1,5% dari seluruh WP OP usahawan (Beer, Kasper, Kirchler, and Erard 2016). Sementara, Indonesia hanya memiliki target audit coverage ratio (ACR) terhadap WP OP sebesar 0.1% pada tahun 2014. Apa implikasinya terhadap definisi kepatuhan pajak?

Implikasinya, strictly and legally speaking, definisi kepatuhan pajak adalah ex post definition. Artinya, kepatuhan pajak hanya bisa ditentukan jika telah dilakukan pemeriksaan dan hasilnya tidak ada temuan (nil correction)—dalam hal ini jika hasilnya adalah Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) atau tidak ditemukan adanya ‘refund discrepancy’ dalam hal WP menyampaikan SPT Lebih Bayar (SPT LB). Perlu dicatat, menurut Antonides & Robben (1995), dari perspektif otoritas pajak, ada tiga kemungkinan hasil dari pemeriksaan pajak: (i) negative correction—jika temuan ternyata mengurangi penerimaan pajak; (ii) nil correction—jika tidak ada temuan pemeriksaan; (iii) positive correction—jika temuan menambah penerimaan pajak.

Inilah kemudian mengapa, meskipun wajib pajak sudah memenuhi kewajibannya secara administratif (memiliki NPWP, melapor SPT dan membayar pajak tepat waktu), sifat kepatuhan pajaknya adalah kepatuhan semu (quasi-compliance), bukan kepatuhan riil (actual compliance). Dalam hal ini, besaran tax gap lebih memiliki kecenderungan untuk berkorelasi negatif dengan level actual compliance dibandingkan dengan quasi-compliance.

Jika demikian, bagaimana pendekatan ilmiah bisa membantu kita untuk lebih memahami dinamika kepatuhan pajak?

C. Pendekatan ilmiah: Perkembangan dan tantangannya

C.1 Perkembangan

Ada tiga poin penting yang bisa kita catat terkait perkembangan isu kepatuhan pajak: definisi, determinan, dan teori kepatuhan pajak.

Pertama, meski belum ada konsensus dikalangan akademisi mengenai definisi ‘kepatuhan pajak’, kita bisa melihat ada dua pendekatan yang umum digunakan untuk mendefinisikan kepatuhan pajak: conceptual dan operational. Pendekatan conceptual cenderung fokus pada pentingnya kemauan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakan, tanpa memerlukan kehadiran unsur-unsur penegakan hukum (enforcement activities)—digunakan oleh, misalnya, James and Alley (2004), Kirchler (2007) dan Weber et al. (2014), sementara pendekatan operational lebih mengutamakan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan secara administratif, yang meliputi: registration, filing, reporting, dan payment—digunakan oleh, misalnya, Jackson and Milliron (1986), Alm (1991), IRS (2009) and OECD (2014). Dengan kata lain, pendekatan conceptual lebih fokus pada voluntary willingness (ex ante), sementara pendekatan operational memusatkan perhatian pada forced willingness (ex post). Sebagai tambahan, pendekatan pertama cenderung lebih banyak digunakan oleh peneliti pajak, sedangkan pendekatan kedua lebih sering diadopsi oleh otoritas perpajakan maupun organisasi internasional (misalnya OECD, IMF).

Untuk memahami secara lebih spesifik isu kepatuhan pajak, penggunaan kedua pendekatan tersebut perlu dijelaskan, atau dibuat pembatasan, secara khusus. Ini karena, misalnya, jika kita menggunakan pendekatan conceptual sampai saat masih ada perdebatan mengenai perlu tidaknya aktivitas penghindaran pajak yang legal (tax avoidance) dimasukkan sebagai bagian integral kepatuhan pajak. Disisi lain, jika kita menggunakan pendekatan operational, karena data kepatuhan pajak yang ada saat ini masih merujuk ke quasi-compliance serta adanya isu kerahasiaan data wajib pajak, kita perlu menentukan apakah yang ingin kita dalami lebih jauh adalah expected behavioural outcome atau actual behavioural outcome.

Kedua, selain belum ada konsensus mengenai definisi kepatuhan pajak, sampai saat ini belum ada teori yang widely accepted untuk memahami fenomena kepatuhan pajak. Meski teori ekonomi konvensional yang ditawarkan oleh Allingham dan Sandmo (1972) dan Srinivasan (1973) memberikan sumbangsih yang penting dalam memahami kepatuhan pajak, teori yang diinspirasi oleh teori ekonomi kriminal-nya Becker (1968) ini kontradiksi dengan kondisi riil saat ini. Jika teori ekonomi tradisional ini yang digunakan untuk memprediksi tingkat kepatuhan pajak, dengan melihat realitas kecilnya kemungkinan wajib pajak diperiksa dan dikenai sanksi, teori ini akan menyimpulkan bahwa hampir seluruh wajib pajak tidak akan patuh pajak. Faktanya tidak bukan? Setidaknya, di Amerika, menurut IRS (2016) sekitar 82% penerimaan pajak dihasilkan dari kepatuhan sukarela (voluntary compliance). Sementara di Australia, 90% penerimaan pajak dihasilkan dari voluntary compliance—perlu dicatat, ada perbedaan pandangan dalam mendefinisikan kepatuhan sukarela antara otoritas pajak dan akademisi.

Atas dasar inilah kemudian, merujuk ke literatur yang ada saat ini, kita bisa mengelompokkan teori terkait kepatuhan pajak dalam tiga kelompok besar, seperti dalam gambar 1 berikut:

Gambar 1 - Three compliance models
Gambar 1: Tiga kelompok model teori kepatuhan pajak

Dari gambar 1 tersebut diatas, terlihat ada tiga kelompok model teori kepatuhan: (i) economics deterrence models (EDM), (ii) social psychology models (SPM), dan (iii) fiscal psychology models (FPM). Esensi dari EDM adalah asumsi bahwa wajib pajak adalah makluk ekonomi yang sangat rasional dan oleh karenanya akan selalu bertindak murni berdasar prinsip utilitas ekonomi (expected utility theory). Hasilnya, teori ini fokus pada variabel probabilitas audit dan besaran sanksi audit.

Untuk mengatasi kelemahan yang ada pada EDM, para cendekiawan pajak membangun pendekatan baru berupa non-expected utility theory dengan menyelipkan unsur-unsur psikologi yang mempengaruhi manusia dalam mengambil keputusan, seperti misalnya attribution theory dan prospect theory. Selanjutnya, meski sama-sama fokus pada pentingnya unsur psikologi, yang membedakan FPM dengan SPM adalah FPM lebih fokus pada pemahaman mengenai dinamika kualitas hubungan diakletis antara otoritas pajak (atau negara) dengan wajib pajak. Dalam hal ini, selain teori tentang ‘tax morale’ yang mulai populer dalam satu dua dekade terakhir, salah satu teori yang muncul dari model ini adalah ‘slippery slope framework’ (SSF) yang digagas oleh Kirchler, Hoelzl, dan Wahl (2008). Selain itu, salah satu inovasi penting dari yang lahir dari FPM adalah cooperative compliance model (CCM). Model CCM dibuat oleh otoritas pajak Australia (ATO) berdasarkan hasil riset Dr Valerie Braithwaite (OECD, 2004). Model ini secara konsep menggambarkan interaksi dinamis antara empat kelompok besar tipe WP dan empat strategi generik yang bisa diambil oleh otoritas pajak.

Ada dua poin penting yang perlu digarisbawahi dari ilustrasi tersebut. Pertama, meski EDM sudah bukan lagi menjadi isu sentral dalam riset perpajakan, peran EDM tidak dapat dihilangkan dalam upaya memahami dinamika kepatuhan pajak. Hal ini terlihat dari garis putus-putus yang menghubungkan EDM dengan SPM dan FPM. Sebagai contoh, dalam kelompok FPM misalnya, SSF menekankan pada pentingnya kombinasi yang efektif dan sinergis antara aktivitas penegakan hukum (power) dan tingkat kepercayaan (trust) wajib pajak terhadap otoritas pajak. Kedua, sebagaimana digambarkan dalam area gradasi berwarna hijau dalam gambar diatas, pendekatan ilmiah mulai beralih dari pendekatan EDM sebagai sesuatu yang otonom, dan bergerak menuju ke area SPM dan FPM. Dua area ini secara sederhana bisa digabungkan sebagai area ‘behavioural economics’. Behavioural economics bisa didefinisikan sebagai ‘the integration of economics and the psychology of preference formation and choice’ (Congdon et al. 2009, p. 375).

Terakhir, perlu dicatat bahwa pembagian tiga kelompok model teori kepatuhan pajak berpotensi untuk mengalami oversimplifikasi. Misalnya, meski masih sangat minor dan belum diakui secara luas, ada beberapa peneliti yang mulai menggunakan pendekatan econophysics—pendekatan multidisiplin yang menggunakan teori dan metode yang berkaitan dengan karakteristik fisis untuk menjelaskan fenomena ekonomi (lihat misalnya Sinha et al. 2011)untuk menjelaskan fenomena kepatuhan pajak (lihat, misalnya, Zaklan et al. 2009). Selain itu, sampai dengan saat ini, literatur yang terkait dengan riset kepatuhan pajak didominasi dari negara-negara maju (advanced economies), dan oleh karenanya untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh, riset empiris dari negara-negara berkembang (emerging economies) diperlukan (lihat, misalnya, Andreoni et al. 1998; Chau & Leung 2009).

Ketiga, terkait faktor-faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak, sampai saat ini juga belum diketahui secara. Otoritas pajak Amerika Serikat (IRS), misalnya, pada tahun 1978 sudah melakukan riset terkait kepatuhan pajak dan berhasil mengidentifikasi ada 64 faktor yang mempengaruhi kejujuran WP OP dalam melaporkan penghasilannya. Namun, karena kompleksitas perilaku manusia, faktor apa saja yang paling dominan mempengaruhi perilaku patuh pajak sampai sekarang masih belum bisa disepakati. Yang sepertinya bisa disepakati saat ini hanyalah pengelompokan faktor-faktor; seperti yang dilakukan oleh ATO dan OECD melalui akronim BISEP—bisnis, industri, sosiologis, ekonomi, dan psikologis.

Sampai dititik ini, dengan memiliki pemahaman yang cukup mengenai perkembangan isu kepatuhan pajak, kita diharapkan bisa mengantisipasi tantangan yang berpotensi timbul dalam mengeksplorasi dinamika kepatuhan pajak.

C.2 Tantangan dalam mendalami dinamika kepatuhan pajak

Secara umum, ada tiga tantangan yang perlu kita antisipasi: nature dari riset terkait kepatuhan pajak, ketersediaan dan akses data, dan model interaksi.

Pertama, kepatuhan pajak adalah satu fenomena sosial yang menarik. Oleh karenanya, riset tentang kepatuhan pajak bersifat multi-disciplinary—bisa ditilik dari sudut pandang sejarah, ekonomi, akuntansi, hukum, maupun politik. Oleh karenanya, selain pakar dengan berbagai latar belakang ilmu terlibat, apa yang disebut sebagai ‘methodological pluralism’ dianjurkan untuk memahami dinamika riset perpajakan (misalnya, McCruddden 2006). Jadi, peneliti diharapkan tidak melihat fenomena kepatuhan pajak dari paradigma ‘positivist’ (kuantitatif) saja—meskipun paradigma ini mayoritas dalam penelitian di ilmu sosial (Privitera 2013), tapi juga dari spektrum ‘interpretivist’ (kualitatif) atau dengan menggabungkan keduanya (mixed methods). Perlu dicatat, bahwa pembagian paradigm secara biner menjadi positivist dan interpretivist adalah oversimplifikasi. Dalam realitas, ada beberapa pendekatan yang berada diluar spektrum quantitatif—mixed methods—qualitative. Sarantakos (2013) menyebut area ini sebagai ‘extraterritorial main paradigm’, sementara McKerchar (2010) menyebutnya sebagai ‘anarchy’.

Tentu saja, pilihan pendekatan tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan ontologis, epistemologis, dan metodologis dari masing-masing peneliti. Dalam konteks ilmu sosial, pandangan ontologis berkaitan dengan satu pertanyaan dasar: ‘what is the nature of reality?’ Apakah obyektif (di luar sana), dikonstruksi, ataukah subyektif? Pandangan epistemologis berkaitan dengan pertanyaan: ‘how do we know what we know? Selanjutnya, dua pandangan ini akan mengarahkan kita pada pertanyaan: ‘how do we gain the knowledge about the world?’.

Meski demikian, perlu dipahami bahwa sampai dengan saat ini, meski paradigm kualitatif mulai tumbuh subur di area riset perpajakan, paradigma kuantitatif masih mendominasi riset terkait kepatuhan pajak. Ada setidaknya dua alasan untuk ini. Pertama, karena cenderung menggunakan data numeric, pendekatan kuantitatif dianggap memberikan analisis data yang lebih obyektif dibanding pendekatan kualitatif yang ‘subyektif’ atau ‘inter-subyektif’. Implikasinya, hasil riset kuantitatif memiliki daya jangkau tingkat generalisasi yang lebih luas. Kedua, terkait dengan poin pertama, riset terkait kepatuhan pajak seringkali digunakan untuk evidence-based policy making. Aktivitas ini seringkali memerlukan penjelasan kausalitas antar variabel dalam menjelaskan fenomena sosial. Penjelasan ini seringkali dihasilkan oleh pendekatan kuantitatif dibandingkan pendekatan kualitatif. Namun demikian, perlu dicatat bahwa saat ini sudah ada beberapa otoritas pajak yang menggunakan pendekatan kualitatif ‘murni’. Salah satunya adalah otoritas pajak Denmark (SKAT) yang mulai mengadopsi hasil penelitian menggunakan Actor Network Theory (ANT) untuk memahami fenomena kepatuhan pajak.

Kedua, seperti yang telah kita diskusikan sebelumnya, jenis ukuran kepatuhan pajak yang dominan saat ini adalah quasi-compliance. Hal ini berimplikasi pada kelancaran pelaksanaan riset. Para ahli pajak sepakat bahwa masalah utama dalam riset terkait kepatuhan pajak adalah akses terhadap data (Andreoni et al. 1998; McKerchar, 2008). Akses ini tidak mudah didapat karena, hampir di semua negara, pada umumnya SPT (tax returns) bersifat rahasia (Kornhauser 2007) dan oleh karenanya proses untuk mengaksesnya tidak gampang (Antonides & Robben 1995). Meski terdapat beberapa pengecualian dimana data wajib pajak bisa diakses oleh peneliti secara terbatas—seperti dalam kasus data TCMP yang disuplai oleh IRS, pada umumnya para peneliti perpajakan sepakat bahwa akses terhadap data adalah hambatan utama, terlebih jika budaya riset masih belum menjadi budaya dimana otoritas pajak tersebut berada.

Oleh karenanya, fase ‘research design’ adalah salah satu fase yang paling krusial dalam pendekatan ilmiah. Ini karena di fase inilah pertanyaan ‘how do we execute research?’ dijawab. Dengan kata lain, fase ini berbicara tentang metode. Secara umum ada tiga metode yang jamak kita jumpai dalam riset mengenai kepatuhan pajak: theoretical/mathematical modeling, empirical, dan experimental. Pendekatan diatas masing-masing memiliki keunggulan sekaligus kelemahan tersendiri. Misalnya, pendekatan teoritis—karena harus dibangun berdasarkan asumsi tertentu—mungkin tidak terkonfirmasi secara empiris (seperti dalam kasus EDM diatas yang tidak mampu merefleksikan tingkat kepatuhan di dunia nyata). Atau, experimental research cenderung memiliki internal validity yang tinggi, tapi memiliki external validity yang rendah. Contoh nyata dalam hal ini adalah adanya kritik mengenai penggunaan mahasiswa/i sebagai subyek penelitian eksperimen dalam riset mengenai kepatuhan pajak yang dianggap tidak mewakili karakter alami wajib pajak. Kebalikannya, non-experimental research—misalnya survei, meski mungkin memiliki external validity yang tinggi, tapi berpotensi tinggi memiliki internal validity yang rendah. Bisa dikatakan, hampir tidak ada pendekatan riset yang mampu memiliki sekaligus validitas eksternal dan internal yang sama-sama tinggi. Selain isu validitas, masalah yang mungkin dalam memahami isu kepatuhan pajak adalah ‘social desirability bias’. Masalah ini muncul karena ketidakpatuhan pajak secara umum dipersepsikan sebagai sesuatu yang ‘socially undesirable’ (Houston & Tran 2001). Akibatnya, studi tentang kepatuhan pajak cenderung menghasilkan temuan yang melaporkan tingkat kepatuhan pajak yang lebih tinggi dari sebenarnya (overstated compliance levels) (Andreoni et al. 1998).

Terlepas dari kelemahan yang dimiliki, ketiga pendekatan tersebut menawarkan pilihan yang bisa diambil oleh peneliti ditengah-tengah rendahnya opsi untuk memperoleh data terkait kepatuhan pajak. Seperti dalam tabel 3 dibawah, jika kita gunakan tiga kelompok model dalam penjelasan sebelumnya, maka terlihat bahwa seluruh model teori kepatuhan pajak tadi dapat menggunakan seluruh pendekatan yang ada. Namun demikian, meski besar kemungkinan terjadi over-simplifikasi, terlihat bahwa paradigma kuantitatif adalah paradigma yang dominan (diwakili dengan area oval berwarna biru transparan). Seperti dalam penjelasan sebelumnya, terlihat juga bahwa pendekatan yang ‘pure’ kualitatif memiliki area penerapan yang relatif terbatas—yaitu, cenderung hanya bisa digunakan dalam pendekatan empiris.

Tabel 3 - Academic disciplines and research approaches
Tabel 3: Hubungan antara model, pendekatan, dan paradigm dalam riset kepatuhan pajak

Ketiga, perilaku kepatuhan pajak bersifat sangat dinamis dan kontekstual karena melibatkan interaksi berbagai pihak. Secara sederhana, ada tiga pelaku yang berinteraksi (gambar 2): otoritas pajak, wajib pajak, dan konsultan pajak. Sifat interaksinya juga bervariasi. WP A misalnya, dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, dia berhubungan langsung dengan otoritas pajak. Tanpa perantara. Sementara, WP B dalam menjalankan kewajiban pajaknya secara penuh diwakili oleh konsultan pajak, dan tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan otoritas pajak. Selanjutnya, tidak seperti WP B, WP C menggunakan jasa konsultan pajak dalam mengelola kewajiban pajaknya, namun secara langsung tetap berinteraksi dengan otoritas pajak. Perlu digarisbawahi disini bahwa dalam ilustrasi tersebut, wajib pajak adalah makluk sosial dimana masing-masing WP saling berinteraksi, baik langsung maupun tidak langsung, terkait pemenuhan kewajiban pajaknya. Inilah mengapa beberapa istilah seperti, ‘significant others’, ‘important referents’, ‘peer-pressures’, dan ‘social norms’, adalah jargon-jargon yang jamak digunakan dalam artikel tentang kepatuhan pajak. Di dalam gambar 2, dalam konteks self-assessment, pihak yang berada di area gradasi berwarna hijau dianggap lebih berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan terkait kepatuhan pajak.

Gambar 2 - Interactions between stakeholders 2
Gambar 2: Interaksi dinamis dalam kepatuhan pajak

Dinamika ini penting untuk dipahami karena, misalnya, konsultan pajak memiliki peranan yang vital dalam pemenuhan kewajiban pajak. Misalnya, di Australia, Irlandia, dan Italia, sebagian besar WP menggunakan jasa konsultan pajak (lihat, misalnya, Evans 2012; Walsh 2012). Di Australia, misalnya, per 2016 terdapat 75,740 orang yang bekerja sebagai ‘konsultan pajak’ (tax practitioners) (TPB, 2016). Ini berbeda, misalnya, dengan yang terjadi di Indonesia dimana jumlah konsultan pajak relatif kecil—per Juli 2013, misalnya, hanya terdapat 1,883 konsultan pajak dan hanya sekitar 5,410 WP (kebanyakan WP Badan) yang secara resmi menyatakan menggunakan jasa Konsultan (DJP, 2014). Implikasi dari hal ini adalah dalam memahami dinamika kepatuhan pajak, konteks dimana wajib pajak dan otoritas beroperasi sangat penting untuk dipahami terlebih dahulu sebelum pendekatan ilmiah mulai digunakan.

D. Kesimpulan

Dalam tulisan singkat ini, dinamika terkait kepatuhan pajak dikaji lebih mendalam. Diskusi diawali dengan pembahasan mengenai definisi dan pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan kepatuhan pajak. Disini kita mengetahui bahwa pengetahuan umum (common sense) tidak cukup memadai untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang kepatuhan pajak. Dapat disimpulkan, definisi kepatuhan pajak adalah ex post definition. Karena alasan ini, tulisan ini fokus pada bagaimana menjelajahi fenomena kepatuhan pajak dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Disini, perkembangan terakhir mengenai kepatuhan pajak dibahas. Ada tiga kelompok model teori kepatuhan pajak: economic deterrence models (EDM), social psychology models (SPM), dan fiscal psychology models (FPM). Dari kajian pustaka yang ada, meski ada beberapa pengecualian, saat ini dapat disimpulkan bahwa riset mengenai kepatuhan pajak mulai mengarah ke pendekatan ‘behavioural economics’. Selanjutnya, tulisan ini membahas tantangan yang mungkin timbul dalam jika kita ingin memahami kepatuhan pajak lebih jauh. Ini tidak saja karena riset kepatuhan pajak bersifat multi-disiplin, tetapi juga ada hambatan mengenai akses data yang menjadikan ‘research design’ adalah fase yang sangat krusial. Di tahap ini juga dibahas tiga pendekatan yang bisa digunakan untuk melakukan riset kepatuhan pajak: theoretical/mathematical modeling, empirical, dan experimental. Disini dapat disimpulkan tidak ada pendekatan yang bebas dari kelemahan. Selanjutnya, di titik ini juga dibahas mengenai interaksi dinamis pihak-pihak yang berkaitan dalam membentuk pola perilaku kepatuhan pajak. Untuk dapat memahami dinamika kepatuhan pajak, latar belakang kontekstual seperti ini harus dipertimbangkan.

Terakhir, riset mengenai kepatuhan pajak baru berumur kurang dari 50 tahun. Masih relatif sangat muda jika dibanding riset dibidang ilmu sosial lainnya. Oleh karena itu, meski pemahaman kita mengenai kepatuhan pajak meningkat secara signifikan sejak tahun 1970-an, wajar saat ini jika masih banyak yang belum dieksploasi di tataran sains. Bagi otoritas pajak khususnya, pemahaman lebih mendalam mengenai fenomena kepatuhan sangatlah penting. Ini karena, dalam banyak kasus, keputusan yang dibuat di ranah administrasi perpajakan dibuat dalam situasi yang penuh ketidakpastian (Wenzel dan Taylor 2003). Pendekatan ilmiah diharapkan akan bermanfaat dalam mereduksi ketidakpastian ex ante ini. Dalam konteks ini, saya menutup tulisan singkat ini dengan kutipan dari Firebaugh (2008, hal. 207):

Let method be the servant, not the master”.