Sebelum mulai membaca tulisan ini, silahkan Anda amati gambar berikut baik-baik.
Sudah?
Sekarang silahkan jawab pertanyaan berikut. Anda hanya perlu jawaban biner ‘ya’ atau ‘tidak’.
Menurut Anda, apakah garis biru yang memiliki ujung bertanda huruf A merupakan sambungan dari garis biru yang memiliki ujung bertanda huruf B? Begitu juga dengan garis putus-putus yang memiliki ujung bertanda huruf C; apakah merupakan sambungan dari garis putus-putus dengan ujung bertanda huruf D?
Anda yakin?
***
Jika Anda pernah, atau berencana, mengajukan permohonan visa ke Inggris, sebelum membubuhkan tanda tangan, mungkin Anda menemukan tulisan ini: “to the best of my knowledge and belief, the documents I have used to support my application are genuine”.
Ada dua kata yang menurut saya menarik dalam dalam kalimat tersebut: knowledge dan belief. Mengapa? Karena, secara substansi, dua kata ini hanya memiliki satu unsur dasar: belief.
Kok bisa? Ya, karena secara definisi, knowledge adalah ‘justified true beliefs’—seringkali disingkat sebagai JTB. JTB sebagai definisi knowledge diperkenalkan pertama kalo oleh Plato dan bisa dikatakan merupakan definisi yang selama ini paling banyak diterima oleh para filsuf; setidaknya selama hampir 2000 tahun. Sampai kemudian pada tahun 1963, Edmund Gettier, dalam sebuah tulisan berjudul “Is Justified True Belief Knowledge?” memaparkan beberapa situasi dimana ‘justified true beliefs’ tidak selalu bisa disebut sebagai knowledge—kejadian-kejadian tertentu yang seringkali dirujuk sebagai ‘Gettier problem’.
Apa esensi dari justified true belief? Secara sederhana ini bisa diartikan bahwa untuk mengetahui sesuatu, seseorang harus memercayai terlebih dahulu sesuatu tersebut, sesuatu tersebut benar, dan seseorang tersebut memiliki justifikasi untuk memercayainya. Tentu saja, ini bukanlah sebuah penjelasan yang bisa dikatakan sempurna. Tapi setidaknya, definisi ini menggarisbawahi pentingnya unsur belief—dan subyektifitas yang melingkupinya.
Seberapa pentingkah peran belief dalam kehidupan kita? Percayakah Anda seandainya ada yang mengatakan bahwa hampir seluruh tindakan kita pada dasarnya didasarkan pada anggapan atau keyakinan (belief)? Kita ambil contoh sederhana. Sebagian besar dari kita tentu sudah pernah melakukan perjalanan dengan naik pesawat bukan? Sebagian besar dari kita juga mungkin paham bahwa—meski probabilitas keterjadiannya sangat kecil—kecelakaan pesawat memiliki risiko tingkat kematian yang paling tinggi. Statistik menunjukkan kisaran angka 76%. Artinya, ketika pesawat yang Anda tumpangi mengalami kecelakaan, besar kemungkinan Anda akan meninggal. Meski demikian, ketika akan naik pesawat, pernahkah Anda memastikan bahwa sang pilot—seandainya Anda sangat yakin bahwa yang akan menerbangkan pesawat adalah memang seorang pilot—memiliki jam terbang yang cukup atau tidak sedang mabuk, atau setidaknya dalam kondisi sehat? Juga, pernahkah Anda setidaknya bertanya bahwa pesawat yang akan Anda tumpangi telah mendapat perawatan yang memadai dan diisi dengan bahan bakar yang cukup sebelum terbang? Jika belum pernah, mengapa Anda dan kebanyakan penumpang berani mengambil keputusan untuk tetap naik pesawat?
Ya, belief yang Anda miliki adalah jawabnya—termasuk jika Anda memiliki astrophobia. Menurut Cambridge Advance learner’s dictionary, belief diartikan sebagai “the feeling of being certain that something exists or is true.” Karena berada di domain perasaan, belief bersifat subyektif dan tidak selalu rasional. Terkait dengan pertanyaan sebelumnya tentang naik pesawat, Anda mungkin tidak melakukan hal-hal yang disebutkan diatas karena dari yang Anda alami atau amati secara langsung, dari informasi yang Anda miliki, atau dari apa yang Anda simpulkan dari mengamati perilaku penumpang lain, Anda ‘merasa’ bahwa Anda memang tidak perlu melakukannya. Inilah yang disimpulkan oleh Fishbein dan Ajzen (2010), dalam bukunya berjudul ‘Predicting and Changing Behavior’. Mereka mengatakan bahwa dari asal terbentuknya, belief bisa dikategorikan dalam tiga jenis: observational, informational dan inferential (lihat Gambar 2).
Artinya apa? Artinya asal muasal munculnya belief ini berkaitan erat dengan epistemologi. Epistemologi berkaitan erat dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan—how do we know what we know. Implikasinya, belief yang kita miliki akan berkaitan erat dengan pengetahuan yang kita miliki. Menariknya, ternyata sebagian besar belief yang kita miliki merupakan hasil dari pengamatan (observational belief) dan dari informasi yang kita terima melalui panca indra kita (informational belief). Dengan kata lain, sebagai makluk sosial bisa disimpulkan kita lebih banyak mengandalkan empirisme sebagai method of knowing.
Pertanyaannya, mengapa ini penting untuk dibahas?
Ada dua alasan untuk ini. Pertama, sekarang adalah era dimana informasi tersedia melimpah ruah. Seandainya ada yang mengatakan bahwa saat ini lebih mudah untuk ‘menyaring’ informasi daripada ‘mencari’ informasi apakah Anda setuju? Kita akan membahas fenomena ini lebih lanjut ketika berdiskusi tentang konteks. Kedua, karena tidak setiap orang memiliki pengalaman atau pengamatan yang sama dalam melihat dunia di sekitarnya, empirisme rentan terhadap personal bias dan oleh karenanya tidak termasuk sebagai scientific method of knowing. Inilah yang menurut Noam Chomsky, dalam disertasi PhD berjudul ‘Transformational Grammar’ yang ditulisnya pada tahun 1957, manusia memiliki kecenderungan untuk menggunakan tiga filter kognitif dalam menerima, mengelola, dan mengirim informasi empiris. Ketiga filter ini—generalisasi (generalisation), pembelokan (distortion), dan penghapusan (deletion)—membuat, dan setidaknya menjelaskan mengapa, setiap manusia memiliki ‘realitas’ subyektif dalam memahami dunia di sekitarnya.
***
Kita kembali dulu ke Gambar 1 di awal tulisan. Besar kemungkinan sebagian besar pembaca akan mengatakan jawaban ‘iya’ untuk pertanyaan diatas. Apakah Anda juga? Garis-garis biru tersebut terlihat seperti garis yang bersambungan bukan? Sekarang mari kita lihat jawabannya di Gambar 3.
Gambar di sisi kiri adalah Gambar 1 dan yang disebelah kanan adalah gambar yang sama namun dengan persegi panjang warna kuning dibuat transparan. Sekarang, jika sebelumnya Anda memilih ‘iya’, apakah sekarang Anda masih yakin dengan jawaban Anda? Apakah Anda pernah mendengar istilah ‘associative learning‘?
Thinking like a researcher: Konteks dan relevansinya
Terus, dalam konteks apa hal ini berhubungan dengan seorang peneliti (researcher)? Sejauhmana relevansinya?
Pertama, konteks. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sebagai makluk sosial kita lebih cenderung pada empirisme sebagai salah satu method of knowing. Meski rawan terhadap personal bias, empirisme ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap observational dan informational beliefs yang kita miliki. Terlebih ketika lebih dari separuh penduduk Indonesia (hampir 133 juta) memiliki akses ke internet (APJII, 2016). Hal ini membawa konsekuensi—kemudahan berupa ‘negative freedom’ dalam membagi dan menyerap informasi, dalam banyak situasi, telah menimbulkan masalah tersendiri. Wabah hoax (berita bohong yang disengaja) nasional adalah salah satu contohnya (Mastel, 2017).
Beberapa temuan dari survey yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia baru-baru ini (Februari 2017) layak disimak lebih lanjut (Gambar 4). Mayoritas responden (92%) menyatakan bahwa saluran penyebaran hoax adalah sosial media. Meski demikikan, hanya 14% dari responden yang secara independen mampu mengetahui bahwa sebuah berita adalah hoax. Implikasinya, hanya 18% responden yang meneruskan berita ‘heboh’ karena mengira berita tersebut benar; 79% sisanya meneruskan berita ‘heboh’ karena mendapat berita tersebut dari orang yang dapat dipercaya atau mengira berita tersebut bermanfaat. Ya, authority adalah salah satu method of knowing yang tidak scientific—kita cenderung lebih percaya apa yang dikatakan oleh seorang profesor dibanding yang dikatakan seorang mahasiswa bukan? Apakah anda melihat ada pengaruh ‘belief’ dalam hasil survei ini? Apakah Anda pernah memperhatikan kenapa berita-berita hoax seringkali menggunakan kata-kata yang psychologically appealing—misalnya: luar biasa, menggemparkan, atau keterlaluan?
Yang memprihatinkan, ternyata 43% responden menyatakan kesulitan dalam memeriksa berita heboh. Padahal, lebih dari 85% responden menyatakan terganggu dengan adanya wabah berita hoax ini.
Sebagai pengguna internet, apakah Anda juga pernah merasa penasaran, ragu-ragu, curiga, atau bahkan ‘baper’ ketika membaca informasi dari sosial media?
Jika iya, kita akan menggunakan situasi ini sebagai titik tolak diskusi mengenai relevansi ‘thinking like a researcher’. Researcher adalah orang yang melakukan riset. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (dapat diakses di http://kbbi.web.id/riset), ‘riset’ diartikan sebagai: (i) penyelidikan (penelitian) suatu masalah secara bersistem, kritis, dan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta yang baru, atau melakukan penafsiran yang lebih baik; (ii) dasar penelitian ilmiah untuk mencari ilmu pengetahuan baru; pencarian yang bersistem untuk menemukan tantangan hal yang belum diketahui. Sementara jika merujuk ke kamus online Merriam-webster (dapat diakses di http://www.merriam-webster.com/dictionary/research), kata ‘research’ diartikan sebagai: (i) careful or diligent search; (ii) studious inquiry or examination; especially: investigation or experimentation aimed at the discovery and interpretation of facts, revision of accepted theories or laws in the light of new facts, or practical application of such new or revised theories or laws; (iii) the collecting of information about a particular subject.
Secara implisit, definisi diatas menunjukkan ada dua alasan utama mengapa riset perlu dilakukan: akademis dan non-akademis. Riset non-akademis disini dapat berupa pencarian yang bersistem untuk menemukan penjelasan atas hal yang belum diketahui, atau pengumpulan informasi tentang sebuah subyek tertentu untuk dapat melakukan penafsiran yang lebih baik—misalnya, Anda pernah Googling untuk mencari informasi tentang sesuatu bukan? Karena terkait dengan konteks yang telah diuraikan sebelumnya, fokus diskusi kita adalah riset non-akademis. Ini penting karena untuk dapat merespon informasi ini secara rasional dan efektif, kemampuan untuk mengevaluasi dan menganalisa informasi yang berlebih memiliki peran kunci. Jadi, alih-alih melakukan hal-hal seperti pengujian hipotesis atau melakukan pemodelan matematis, kemampuan dan pengetahuan untuk melakukan riset non-akademis memungkinkan kita untuk tetap berada di posisi yang ‘obyektif’ ketika harus menyerap dan menganalisa informasi yang berlimpah tersedia. Setidaknya, mempelajari dan dan menerapkan kemampuan riset non-akademis akan membantu kita untuk menumbuhkan kebiasan untuk berpikir dan bertindak kritis, kreatif, dan independen.
Tapi, bagaimana cara melakukannya?
Karena kita mendiskusikan research dalam konteks non-akademis, kita akan membahas hal-hal yang lebih bersifat pragmatis. Dengan kata lain, kita akan fokus pada sesuatu yang lebih bersifat metodologis (how do we gain the knowledge about the world?) daripada sisi ontologis (what is the nature of reality?) dan epistemologis (how do we know what we know?) dari sebuah proses riset. Tuntutan untuk bersifat pragmatis ini juga didorong dengan adanya fakta bahwa, sebagai makluk sosial, saat ini kita harus mampu mengidentifikasi dan menganalisis informasi yang berlimpah (overwhelming).
Jika kita merujuk pada hasil survei Mastel 2017 yang mengatakan bahwa 99% hoax berupa informasi yang berbentuk tulisan dan gambar, kita perlu metode praktis yang dapat digunakan untuk menganalisis informasi tersebut secara efektif. Salah satu pendekatan praktis yang dapat diterapkan untuk mengolah dan menganalisa informasi secara kritis adalah pendekatan rasional-teknikal yang memiliki pola logika yang linier. Pendekatan ini seringkali mengambil format legal reasoning. Seperti terlihat dalam Gambar 5 terdapat beberapa metode. Namun demikian, karena secara substantif memiliki banyak kesamaan, kita hanya fokus pada satu teknik saja.
Mengenal MIRAT lebih dekat
Seperti terlihat dalam Gambar 5, MIRAT adalah singkatan dari Material facts—Issues—Rules—Argument/Application—Tentative conclusion (Wade, 1990). MIRAT adalah alat analisis yang bersifat fleksibel yang dapat digunakan untuk banyak situasi dan bisa dimodifkasi sesuai kebutuhan. Dan yang lebih penting, selain mudah diingat, analisis dengan MIRAT dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, karena untuk penerapannya membutuhkan waktu, seperti diilustrasikan dalam Gambar 6, keputusan untuk penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan.
Dengan asumsi kita berada dalam situasi yang membutuhkan kita untuk bepikir layaknya seorang ‘researcher’, kita akan membahas masing-masing tahap secara lebih detil.
Material facts
Apa yang disebut dengan material facts? Fakta material secara sederhana bisa diartikan sebagai sebuah pernyataan obyektif tentang sesuatu yang diketahui ada, telah terjadi, atau setidaknya ada informasi. Dengan kata lain, fakta adalah sebuah pernyataan yang, setidaknya secara teori, dapat diuji secara empiris—dapat kita lihat, kita dengar, kita sentuh, kita baui, dan kita cicipi—yang hasilnya tidak tergantung dengan siapa yang melakukan pengujian (an objective statetement about the world as it is).
Seringkali, dalam beberapa situasi, kita sulit membedakan opini dan fakta. Terlebih dalam ilmu sosial, yang sebenarnya kita sebut ‘realita’ atau ‘fakta’ pada esensinya adalah ‘interpretasi dari fakta’ (interpreted facts) (Daly, 1997). Apa itu opini? Opini bisa diartikan sebagai sebuah pernyataan tentang sesuatu menurut seseorang tentang bagaimana sesuatu ada, sedang terjadi, atau seharusnya terjadi. Artinya, opini bersifat subyektif. Sebagai illustrasi, pernyataan ‘draft disertasi ini terdiri dari 123.289 kata, termasuk footnotes’ adalah fakta—setidaknya ada informasi tersedia yang menunjukkannya, dan pernyataan ini bisa diuji secara empiris jika diperlukan. ‘Jumlah kata’ adalah ‘observed construct’ yang bisa diukur secara langung dengan alat yang tersedia. Sementara itu pernyataan ‘ini adalah sebuah draft disertasi yang berkualitas tinggi’ adalah sebuah opini. Ini karena jawaban atas dua pertanyaan berikut, misalnya, akan bersifat subyektif: apa yang dimaksud dengan ‘kualitas’?, apa yang dimaksud dengan ‘tinggi’?, seberapa ‘tinggi’ yang disebut dengan ‘tinggi’?, bagaimana ‘kualitas’ sebuah draft disertasi diukur? Ya, ‘kualitas adalah sebuah ‘latent construct’ yang, karena multi-dimensi dan tidak bisa diukur secara langsung, bersifat sangat subyektif.
Issues
Issue atau masalah muncul karena adanya fakta. Artinya, keberadaan fakta dapat memunculkan isu; namun tidak berlaku sebaliknya. Isu ini secara umum dinyatakan dalam bentuk pertanyaan, dan dapat dibagi dalam dua tingkatan: makro dan mikro. “Bagaimana cara menggunakan kebijakan perpajakan yang efektif untuk mengatasi ketimpangan ekonomi?” adalah sebuah contoh isu yang berada di tataran makro, yang muncul akibat adanya ‘fakta’ ketimpangan ekonomi.
Melanjutkan contoh sebelumnya, contoh isu mikro adalah ketika ada sebuah pertanyaan “Anda mengatakan jumlah kata dalam draft disertasi yang Anda email adalah 123.289 kata. Tapi, di komputer saya yang muncul angka 130.485. Apakah Anda setuju jika kami melakukan penyesuaian biaya sesuai dengan kenaikan jumlah kata?”
Rules (Research or Resources)
Huruf “R” dalam MIRAT tidak hanya merujuk ke aturan yang berlaku (rules) saja. Tapi, bisa juga berarti research dan resources. Bisa jadi ada peraturan yang secara eksplisit mengatur secara khusus, atau berkaitan dengan, sebuah isu yang kita hadapi. Misalnya, jika Anda pernah mengikuti, salah satu peraturan yang banyak dirujuk ketika membahas isu DP 0% adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, mungkin kita akan menemui hal-hal yang tidak ada aturan legal formal-nya.
Isu mikro diatas adalah salah satu contohnya. Sebelum membahas besaran penyesuaian harga, tentu ada baiknya kita fokus pada penyebab jumlah kata berbeda. Tentu saja, besar kemungkinan kita tidak akan menemukan peraturan resmi mengenai bagaimana statistik word count diproses oleh Microsoft Word. Namun jika kita Googling dengan memasukkan kalimat “word count microsoft word” maka di urutan pertama hasil pencarian akan muncul tulisan “When you type in a document, Word automatically counts the number of pages and words in your document and displays them on the status bar at the bottom of the workspace. If you don’t see the word count in the status bar, right-click the status bar, then and click Word Count.”
Jadi, terkait isu mikro tadi, ada beberapa informasi kunci yang relevan disini: (i) jumlah kata dihitung secara otomatis; (ii) angka tersebut dimunculkan di munculkan di status bar di area bawah dari program; dan (iii) solusi jika jumlah kata tidak muncul.
Pertanyaannya, jika angka ini otomatis muncul, mengapa atas file yang sama persis, terdapat dua hasil word count yang berbeda?
Arguments atau Application
Di tahap ini, informasi yang didapat dari tahap sebelumnya dapat dielaborasi lebih lanjut. Beberapa pertanyaan kritis dapat digunakan: bagaimana seseorang tahu kalau dia tahu bahwa draft disertasi yang dalam file yang dia buka memiliki 123.289 kata? Pertanyaan sama juga perlu diajukan kepada orang yang menyatakan bahwa jumlah kata dalam file yang sama adalah 130.485. Variasi pertanyaan yang lebih detil bisa dilihat dalam diagram berikut:
Tentative conclusion—or Conclusion
Jika beberapa informasi penting sudah diperoleh dan penyebab timbulnya isu sudah bisa diidentifikasi, kesimpulan—meski dalam beberapa kasus masih bersifat sementara—sudah bisa diambil. Kesimpulan yang bersifat sementara perlu diambil jika ternyata argumen yang dihasilkan tidak cukup kuat, atau ada informasi kunci yang belum bisa diketahui.
Terkait dengan isu mikro yang menjadi contoh diatas, ternyata dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan munculnya angka jumlah kata dalam draft disertasi diatas adalah angka 123.289 sudah bersifat final, sementara angka 130.485 adalah masih bersifat temporary. Mengapa temporary? Karena ternyata salah satu komputer membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan final result. Yang menjadi penyebab timbulnya masalah adalah, ternyata temporary result tadi ditangkap oleh seseorang—karena ketidaktahuan—sebagai final result. Dengan kata lain, ‘timing lag’ adalah kata kunci yang menjadi penyebab timbulnya isu dalam kasus ini.
***
Sebelum tulisan ini ditutup, mungkin ada pembaca yang bertanya-tanya. Pertama, apa kaitan jabatan Penelaah Keberatan (tax dispute reviewer) dengan tulisan ini? Ya, ketika membuat tulisan ini, saya teringat ketika beberapa tahun silam menduduki posisi ini. Teknik MIRAT yang ada dalam tulisan ini secara garis besar merefleksikan apa yang dilakukan oleh tax dispute reviewer—mereka harus menggali fakta yang relevan, membuat matriks sengketa keberatan, mempelajari, menafsirkan, dan menerapkan aturan yang berlaku, untuk kemudian menarik kesimpulan apakah harus menolak, menerima sebagian, atau menerima seluruhnya permohonan sengketa yang diajukan oleh pembayar pajak.
Kedua, mengapa yang dijadikan contoh kasus untuk penerapan MIRAT adalah perbedaan jumlah kata dalam draft disertasi? Jawabannya, itu adalah kisah nyata. Saya mencoba walk the talk. Beberapa hari yang lalu saya mencoba menggunakan jasa proofreading sebuah perusahaan editing terkenal di Australia untuk draft disertasi saya. Ada perbedaan jumlah kata dalam draft disertasi menurut perhitungan saya dan mereka—yang tentu saja membawa implikasi besarnya biaya yang harus saya bayar. Kami perlu ‘berdiskusi’ belasan kali sampai akhirnya saya menerima email berikut ini.
***
Terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan yang mungkin layak untuk direnungkan.
‘Beware of false knowledge; it is more dangerous than ignorance’—George Bernard Shaw.
One thought on “Thinking like a researcher—or a tax dispute reviewer”
Comments are closed.