Behavioural economics dan tax amnesty

Schumpeter 1954

A. Pendahuluan

Kebijakan tax amnesty (TA) di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Tulisan ini akan membahas secara ringkas fenomena TA dari dari sudut pandang behavioural economics. Lebih spesifik, tulisan ini akan membahas behavioural responses yang berpotensi terjadi dalam proses pengambilan keputusan oleh para Wajib Pajak terkait program TA pada periode pertama (Juli s.d. September 2016). Titik tolak pembahasan tulisan ini adalah asumsi bahwa, bagi banyak pihak, proses pengambilan keputusan terkait keikutsertaan dalam program TA mungkin bukanlah sebuah keputusan yang sederhana. Banyak proses yang terlibat didalamnya.

Tulisan ini tidak menjelaskan berapa estimasi yang akurat dari besarnya nilai tebusan atau Surat Pernyataan Harta (SPH), tapi dimaksudkan untuk membahas lebih lanjut bagaimana fenomena lonjakan ekstrim nilai tebusan dan SPH seperti pada bulan September dapat terjadi. Dengan demikian, fokus bahasan tulisan ini hanya mencakup periode pertama program TA. Tulisan ini adalah pendapat pribadi. The usual disclaimer applies.

B. Mengapa behavioural economics?

Melihat data TA yang disajikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara online (http://pajak.go.id/statistik-amnesti), kita bisa melihat bahwa kontributor utama TA adalah wajib pajak orang pribadi (WP OP). Misalnya, pada bulan Juli, WP OP berkontribusi terhadap 85% penerimaan nilai tebusan dan 15% sisanya berasal dari wajib pajak Badan. Seperti terlihat dalam Gambar 1, kontribusi ini semakin meningkat pada bulan Agustus dan September 2016, masing-masing menjadi 86% dan 89%; sementara kontribusi WP Badan secara  gradual menurun dari 15% pada bulan Juli menjadi 11% pada bulan September 2016. Fakta ini menjadi titik pijak mengapa memahami dinamika TA dari perspektif behavioural economics menjadi sangat penting.

gambar-1-untuk-artikel-5-behavioural-economics-dan-tax-amnesty

Sebelum membahas lebih lanjut, sebuah contoh sederhana akan diberikan untuk memberikan gambaran singkat mengenai pentingnya pendekatan behavioural economics dalam memahami fenomena perilaku perpajakan.

Di Moldova, sebuah negara kecil di Eropa Timur, otoritas pajak melakukan pemeriksaan secara acak terhadap satu dari setiap 1000 Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang diterima. Artinya, tingkat kemungkinan seorang wajib pajak diperiksa oleh otoritas pajak (probability of being audited) adalah 0.001. Selanjutnya, secara rata-rata hanya ada satu dari setiap 200 SPT yang diperiksa yang bisa diungkap ketidakbenaran pembayaran pajaknya. Artinya, tingkat kemungkinan seorang wajib pajak yang diperiksa diketahui ketidakbenarannya (probability of being detected) adalah 0.005. Dengan kata lain, jika seorang wajib pajak menyembunyikan penghasilan tunai sebesar 10 ribu Dollar, kemungkinan penghasilan yang dia sembunyikan diketahui otoritas pajak negara A adalah 0.000005 (0.001 x 0.005). Sangat kecil. Di negara ini, seandainya ketahuan, seorang wajib pajak akan dikenai sanksi 100% dari pajak yang tidak dia laporkan.

Dalam situasi seperti ini, wajib pajak pajak yang fully rational hampir bisa dipastikan akan menyembunyikan penghasilan. Mengapa demikian? Karena penghitungan secara sederhana menggunakan pendekatan konvensional dari expected utility model dari situasi diatas akan menunjukkan bahwa seorang wajib pajak akan melaporkan seluruh penghasilannya jika kemungkinan untuk ketahuan adalah setidaknya 33%—nilai ini berasal dari persamaan ‘(10.000 x (1-P)) < (P x 20.000)’, dimana hasilnya nilai P berada di kisaran 33%. Ini karena secara prinsip wajib pajak yang rasional diasumsikan akan melaporkan seluruh penghasilannya jika biaya dari dia menyembunyikan pajak lebih besar dari manfaat yang diharapkan (expected benefit).

Perlu dicatat, nilai P disini merujuk pada nilai probability of being detected, bukan probability of being audited. Perlu juga digarisbawahi, secara umum nilai probability of being detected lebih kecil daripada probability of being audited karena tidak setiap kegiatan pemeriksaan pajak berhasil mengungkap ketidakbenaran yang dilakukan oleh wajib pajak. Meskipun demikian, sebuah studi menyimpulkan tingkat penyelundupan pajak (tax evasion) di Moldova ternyata kurang dari 30%. Nilai ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil estimasi menggunakan pendekatan expected utility model dimana manusia diasumsikan sebagai makluk yang rasional, well-informed, sangat logis, dan self-centered.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Model ekonomi standar secara umum tidak dapat menjelaskan tingkat perilaku kepatuhan di suatu negara—ini adalah salah satu alasan mengapa non-expected utility model kemudian dibuat. Dengan kata lain, jika model standar ini digunakan, dengan memperhatikan tingkat probability of being audited dan probability of being detected yang ada, maka tingkat penyelundupan pajak di banyak negara seharusnya jauh lebih tinggi dari perkiraan yang saat ini ada. Ternyata hal ini jauh dari realitas; terutama jika dikaitkan fakta bahwa mayoritas otoritas pajak diseluruh dunia mengalami keterbatasan sumberdaya untuk melakukan penegakan hukum. Sebagai contoh, di Amerika, karena keterbatasan sumberdaya, probabilitas seorang WP OP diperiksa oleh IRS adalah kurang dari 1%. Meski dengan rasio pemeriksaan yang rendah, misalnya, di Australia lebih dari 90% penerimaan pajak dikumpulkan secara sukarela sementara di Amerika lebih dari 84%.

Kondisi inilah salah satunya yang menyebabkan saat ini model yang digunakan untuk memahami perilaku wajib pajak mulai menekankan penting pendekatan baru: behavioural economics. Meski demikian, perlu dicatat, pendekatan ini bersifat melengkapi—bukan menggantikan—pendekatan tradisional economic deterrent models. Ini karena hampir bisa dipastikan perilaku Wajib pajak akan terpengaruh ketika frekuensi pemeriksaan ditingkatkan atau besarnya sanksi atas ketidakpatuhan dinaikkan.

Jadi, apa yang dimaksud dengan behavioural economics?

Behavioural economics pada dasarnya merujuk pada upaya-upaya ilmiah yang dilakukan oleh ekonom untuk mengadopsi beberapa aspek psikologi yang relevan ke dalam model ekonomi. Misalnya, Congdon et al. (2009, p. 375) mendefinisikan behavioural economics sebagai “the integration of economics and the psychology of preference formation and choice.” Perlu dicatat, meski sama-sama memasukkan unsur ‘psikologis’, behavioural economics berbeda dengan economic psychology. Dalam hal ini, jika penggiat behavioural economics pada umumnya adalah ekonom, economic psychology lebih merujuk kepada upaya yang dilakukan oleh psikolog untuk memahami pengalaman dan perilaku individu dalam konteks ekonomi.

Salah satu poin penting yang bisa diambil dari pendekatan behavioural economics adalah adanya semacam konsensus yang menyimpulkan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, manusia terbukti secara empiris ‘tidak rasional’ serta rentan terhadap bias kognitif dan psikologis. Inilah mengapa Richard H. Thaler (2015) dalam bukunya ‘Misbehaving’ mengatakan banyak model ekonomi (konvensional) yang selama ini dibuat tidak realistis karena mengganti posisi alami ‘manusia’ dengan makluk fiksi bernama ‘homo economicus’. Hal ini jugalah yang mendorong World Bank pada tahun 2015 menerbitkan sebuah laporan berjudul ‘Mind, Society, and Behaviour’ untuk menekankan pentingnya aspek-aspek psikologis dan sosial dalam konteks pengambilan keputusan publik. Dari perspektif inilah ‘behavioural responses’ yang besar kemungkinan dialami oleh wajib pajak terkait program pengampunan pajak dibahas lebih mendetail.

C. Decision making process terkait tax amnesty

Dari sudut pandang wajib pajak, program TA bisa dikatakan sebagai sebuah situasi khusus. Khusus karena program ini bersifat situasional, terbatas waktu, dan tidak bisa diprediksi kapan lagi akan ditawarkan. Tentu saja, bagi sebagian besar wajib pajak, memutuskan untuk ikut atau tidak dalam program TA ini bukanlah perkara yang mudah. Sementara itu, disisi lain, selain nilai tebusan TA yang melampau estimasi banyak pihak, data yang ada juga menunjukkan semacam ‘anomali’. Dalam hal ini terlihat adanya lonjakan nilai tebusan yang sangat signifikan terjadi pada bulan September 2016. Menggunakan data nilai tebusan (menurut SPH yang disampaikan) pada bulan Juli 2016 sebagai pembanding, nilai tebusan WP OP pada bulan September 2016 mengalami kenaikan lebih dari 1000 kali lipat.

Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Tulisan ini akan membahas lebih lanjut fenomena ini dengan memodifikasi kerangka konseptual yang ditawarkan oleh Smith and Kinsey (1987) dan meraciknya dengan beberapa literatur yang relevan (Congdon et al., 2009; Reeson & Dunstall, 2009; Walsh, 2012; World Bank, 2015). Memperhatikan pola data yang ada, periode pertama TA ini dapat dibagi dalam tiga tahapan. Seperti terlihat dalam Gambar 2, tiga tahapan tersebut adalah fase inertia, framing, dan implementation. Penting untuk dicatat sebelumnya, karena hanya dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, pembagian fase-fase ini bisa jadi mengalami oversimplifikasi. Misalnya, untuk sebagian wajib pajak fase inertia dapat saja baru terjadi pada bulan Agustus atau bahkan September 2016. Begitu juga, sangat mungkin terjadi ketiga fase terjadi hanya dalam rentang waktu satu bulan. Dengan demikian, penting untuk dipahami bahwa pembagian fase dalam Gambar 2 adalah untuk societal atau national level.

gambar-2-untuk-artikel-5-behavioural-economics-dan-tax-amnesty

Inertia stage

Fase paling awal adalah fase inertia. Masih ingat dengan pelajaran fisika yang menjelaskan mengapa energi yang lebih besar diperlukan untuk menggerakkan mobil dari posisi diam? Inertia tidak hanya terjadi dalam ilmu fisika saja. Dalam konteks TA inertia dapat diartikan sebagai kecenderungan para wajib pajak untuk tetap berada dalam status quo. Yaitu, karena program TA menuntut wajib pajak untuk melakukan hal-hal yang mungkin belum pernah dilakukan sebelumnya (misalnya, menginventarisir jumlah harta yang sudah dan belum dilaporkan dalam SPT, mencari dokumen atau bukti pendukung dari harta yang akan dilaporkan, menilai harga wajar dari harta yang belum dilaporkan, memindahkan uang/aset, mengisi bermacam formulir, membayar uang tebusan, menyampaikan SPH ke KPP), wajib pajak pada dasarnya akan cenderung memiliki dorongan yang lebih kuat untuk tidak berpartisipasi dalam program TA. Hal ini juga berkaitan erat dengan apa yang disebut dengan ‘status quo bias’. Status quo bias adalah situasi dimana manusia memiliki kecenderungan untuk mempersepsikan kerugian yang diakibatkan suatu tindakan baru akan lebih besar dari manfaat yang akan diperoleh, meskipun sebenarnya manfaat yang mungkin diterima lebih besar.

Selain itu juga adanya faktor psikologis ‘uncertainty aversion’; manusia cenderung untuk merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian. Dalam konteks TA, wajib pajak akan cenderung enggan untuk mengambil keputusan jika mereka tidak memiliki informasi yang lengkap tentang TA. Misalnya, wajib pajak pasti menginginkan informasi mengenai manfaat, konsekuensi, tarif, kepastian hukum, dan cara berpartisipasi dalam program TA. Ketiadaan atau ketidakpastian mengenai informasi ini berpotensi untuk juga membuat wajib pajak tetap berada dalam status quo dan menunda untuk mengambil keputusan.

Seiring dengan tersedianya informasi yang ada terkait program TA, fase selanjutnya berkaitan dengan adanya perubahan situasi psikologis yang dirasakan oleh wajib pajak terkait adanya program TA. Tentu ini tidak terlepas dari masifnya kegiatan diseminasi informasi mengenai TA yang dilakukan oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak melalui berbagai kanal informasi. Termasuk juga didalamnya adalah keterlibatan langsung Presiden dan sebagian besar jajaran dibawahnya dalam mensosialisasikan program ini yang sangat mungkin membawa efek psikologis besar terhadap wajib pajak. Fase awal ini menghasilkan dua kelompok besar wajib pajak: yang merasa program TA ini sesuatu yang penting (salient) dan yang menganggap isu TA sebagai sesuatu yang dapat diabaikan (negligible). Wajib pajak yang menganggap isu TA sebagai sesuatu yang negligible akan kembali ke fase inertia.

Bisa dikatakan fase inertia ini terjadi pada bulan Juli 2016. Salah satu indikasi sederhana dari fase awal inertia ini bisa dilihat dari kecilnya jumlah penyampaian nilai tebusan pada bulan Juli (bulan pertama berlakunya program TA) yang hanya sekitar 85 miliar Rupiah, dengan nilai harta yang diungkap sekitar 3,7 triliun rupiah.

Urutan dan detail dari masing-masing fase dapat diilustrasikan dalam Gambar 3.

gambar-3-untuk-artikel-5-behavioural-economics-dan-tax-amnesty

Framing stage

Fase kedua adalah fase framing. Framing merujuk pada situasi dimana keputusan dipengaruhi oleh bagaimana sebuah pilihan disajikan. Misalnya, bagi seorang pasien, informasi mengenai sebuah metode pengobatan yang dibingkai dengan pernyataan ‘10% pasien yang diobati meninggal’ memiliki efek (psikologis) yang berbeda dengan informasi yang dibingkai dengan kalimat ‘90% pasien yang diobati sembuh’. Tentu hal ini juga berlaku terhadap program TA. Tergantung dari latar belakang informasi yang dimiliki dan ‘world view’ yang dimiliki, wajib pajak sangat mungkin membingkai informasi tentang TA dari beberapa sudut pandang.

Misalnya, sangat mungkin ada wajib pajak yang memandang program TA sebagai ‘diskon besar-besaran’ atas pajak yang belum dilaporkan, sebagai sarana untuk mendapatkan fasilitas ‘bebas pemeriksaan’, atau sebagai sarana untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan negara. Sementara, disisi lain, ada juga sebagian pihak yang melihat program ini sebagai ‘bentuk kezaliman terhadap masyarakat kecil’, sebagai ‘sesuatu yang merepotkan’, atau sebagai program yang ‘tidak memberikan keadilan’ bagi kelompok tertentu.

Salah satu catatan menarik di fase ini adalah relevansi program TA dengan kecenderungan manusia untuk menghindari kerugian (loss aversion). Artinya, manusia memiliki perhatian yang lebih terhadap potensi kerugian dibandingkan dengan potensi manfaat. Lebih spesifik, manusia cenderung bertindak menghindari risiko untuk mendapatkan keuntungan (risk averse for gains) namun cenderung mengambil risiko untuk menghindari kerugian (risk seeking for losses). Dalam hal ini, beberapa studi empiris telah menunjukkan bahwa manusia cenderung lebih memilih uang sebesar 500 ribu Rupiah tapi pasti, dibandingkan dengan mendapat kesempatan sebesar 50% untuk menerima uang sebesar satu juta Rupiah. Namun, ketika dihadapkan pada kerugian, manusia cenderung untuk memilih kemungkinan 50% menderita kerugian satu juta Rupiah dibandingkan kepastian menderita kerugian sebesar 500 ribu Rupiah.

Dalam konteks TA, dinamika ini tentu akan menarik untuk dianalisa lebih lanjut. Meski perlu dibuktikan secara empiris, secara analitis dapat dikatakan bahwa, jika melihat besarnya tarif tebusan dan manfaat yang diterima, di satu sisi ada kemungkinan sebagian besar wajib pajak peserta TA melihat program ini dalam kerangka ‘risk averse for gains’. Perspektif ini juga sedikit banyak relevan untuk menganalisa lebih lanjut mengapa hanya 12,5% dari dana wajib pajak yang ada di luar negeri yang direpatriasi di Indonesia (data per 1 Oktober 2016).

Selain itu, sebagaimana dinyatakan dalam beberapa literatur, situasi ini juga menjelaskan mengapa unsur kepastian sangat dihargai dalam konteks perpajakan. Dalam hal ini, dari sudut pandang wajib pajak, meski secara probabilitas matematis nilainya bisa diabaikan (0.02), kepastian untuk mendapat fasilitas tidak diperiksa sebesar 100% dianggap jauh lebih ‘berharga’ dibandingkan dengan kemungkinan tidak diperiksa sebesar 98% (catatan: standar audit coverage ratio di Indonesia adalah sekitar 2%).

Seperti halnya dalam fase sebelumnya, khususnya dalam konteks keikutsertaan dalam program ini, fase framing ini juga diasumsikan menghasilkan dua kelompok besar wajib pajak. Pertama, mereka yang merasa program ini memberikan manfaat yang besar atau yang merasa rugi jika tidak ikut ambil bagian dalam program ini. Kedua, mereka yang merasa manfaat yang diberikan dari program TA ini tidak signifikan atau tidak bisa dirasakan. Wajib pajak yang masuk dalam golongan ini akan kembali ke fase inertia.

Selanjutnya, wajib pajak yang merasa program TA ini membawa manfaat akan mempertimbangkan apakah upaya lanjutan layak dilakukan. Di fase ini, berdasarkan informational dan observational beliefs yang dimiliki terkait program TA, wajib pajak akan mengevaluasi situasi yang dan upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan untuk bisa berpartisipasi. Jika upaya yang diperlukan ternyata dianggap terlalu besar untuk dilakukan, maka wajib pajak akan kembali lagi ke fase inertia.

Bagaimana jika upaya yang perlu dilakukan dianggap masih layak untuk diperjuangkan? Situasi ini akan mengarahkan wajib pajak untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pilihan-pilihan yang ada. Misalnya, apakah harus mendatangi kantor pajak untuk melakukan konsultasi, apakah cukup membaca informasi yang tersedia di internet, apakah cukup bertanya ke teman yang dianggap berkompeten, atau harus menggunakan jasa konsultan?

Salah satu hasil dari proses identifikasi dan evaluasi ini adalah terbentuknya niat (intention). Niat adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku tertentu. Salah satu teori perilaku, Theory of Planned Behaviour (TPB), menjelaskan bahwa niat dibentuk oleh tiga faktor: attitude towards behaviour, subjective norm towards behaviour, dan perceived behavioural control. Artinya, meskipun pada awalnya seorang wajib pajak merasa bahwa upaya yang diperlukan untuk ikut berpartisipasi dalam program TA dapat dilakukan (wajib pajak memiliki perceived behavioural control yang memadai), tidak otomatis seorang wajib pajak akan memiliki niat untuk berpartisipasi. Ini disebabkan karena masih ada dua faktor lagi yang berpengaruh dalam proses pembentukan niat: attitude dan subjective norms towards behaviour. Di fase ini, wajib pajak yang ‘niat untuk berpartisipasi’-nya belum terbentuk akan kembali ke fase paling awal: inertia.

Bisa dikatakan fase framing ini terjadi pada bulan Agustus 2016. Pada fase ini, sebagian wajib pajak sudah mulai ‘aware’ dengan adanya program TA dan sebagian dari mereka sudah memutuskan untuk berpartisipasi dalam program TA. Salah satu indikasi sederhana dari fase framing ini adalah kenaikan nilai tebusan pada bulan Agustus 2016 dari semula dikisaran 85 miliar Rupiah menjadi sekitar 3 triliun Rupiah.

Implementation stage

Fase implementasi adalah fase yang paling krusial. Mayoritas wajib pajak yang berada dalam fase ini adalah wajib pajak yang memiliki niat untuk ikut berpartisipasi dalam program TA. Setelah melalui beberapa tahapan di fase sebelumnya, di fase inilah sebagian besar wajib pajak merealisasikan niatnya. Hal ini dapat dilihat dari mulai banyaknya antrian wajib pajak peserta TA di banyak kantor pajak pada awal bulan September 2016. Indikasi yang lain juga terlihat dari kenaikan jumlah SPH dan besarnya nilai tebusan yang dibayarkan pada bulan ini.

Satu hal penting yang perlu dipahami di fase ini adalah adanya kemungkinan gap yang signifikan antara perceived behaviour control dan actual behaviour control dari wajib pajak untuk berpartisipasi dalam program TA. Maksudnya, bagi sebagian wajib pajak, ternyata untuk berpartisipasi dalam program TA tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak persyaratan dan beberapa tahapan proses administratif yang harus dilakukan. Sebagaimana ditunjukkan sebelum dalam Gambar 3, situasi ini disebut tahap ‘constraints on implementation’. Wajib pajak yang tidak berhasil melewati fase ini akan kembali lagi ke fase awal: framing.

Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, telah mengambil langkah yang tepat dengan melakukan beberapa proses penyederhanaan persyaratan administrasi melalui, misalnya, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 13/PJ/2016. Peraturan ini memberi kesempatan bagi wajib pajak yang tidak dapat melengkapi persyaratan administrasi untuk tetap dapat berpartisipasi dalam program TA. Selain itu, untuk mengantisipasi lonjakan peserta program TA, kantor pajak juga memperpanjang jam pelayanan. Hal ini tentu membuat fase ‘constraints on implementation’ menjadi relatif mudah untuk dilewati oleh wajib pajak. Dengan kata lain, gap antara perceived behaviour control dan actual behaviour control dari wajib pajak menjadi lebih sempit. Efektivitas dari kebijakan ini bisa diindikasikan dengan melonjaknya nilai realisasi tebusan pada bulan September 2016 sebanyak 28 kali lipat dibandingkan nilai tebusan pada Bulan Agustus 2016.

Satu catatan penting di fase ini adalah relevansi sebuah fenomena bernama ‘tipping point’. Tipping point adalah suatu keadaan dimana perilaku tertentu seolah berubah menjadi norma (yang harus diikuti) setelah batasan atau kondisi tertentu tercapai. Dalam konteks ini, misalnya, fenomena tipping point dimungkinkan terjadi ketika perolehan nilai tebusan telah melampaui batas psikologis prediksi beberapa pihak dan maraknya keikutsertaan prominent people. Hal ini menciptakan kondisi yang disebut dengan ‘social proof and consensus’; situasi dimana orang cenderung melihat perilaku orang lain (peer influence) sebagai pedoman dalam berperilaku, khususnya dalam menghadapi situasi yang dianggap banyak mengandung ketidakpastian. Dalam konteks TA, situasi ini dapat mendorong wajib pajak yang sebelumnya ragu apakah perlu mengikuti program TA menjadi yakin bahwa mengikuti program TA adalah pilihan yang tepat.

D. Kesimpulan

Bisa dikatakan behavioural economics adalah sebuah pendekatan yang relatif baru dalam konteks kebijakan publik. Dalam tulisan ini pendekatan baru ini digunakan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi dalam program TA. Analisis awal setidaknya bisa memberikan jawaban mengapa realisasi nilai tebusan jauh melebihi estimasi banyak pihak dan bagaimana lonjakan peserta TA terjadi pada bulan September 2016. Tentu saja, karena masih bersifat analytical statement, studi empiris diperlukan untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Selain itu, melihat fakta bahwa kontributor utama TA adalah WP OP non-UMKM dan WP Badan Non-UMKM, tentu akan menarik untuk melihat lebih lanjut implikasi kenaikan tarif tebusan dan upaya lanjutan yang akan dilakukan oleh DJP terhadap pola dan tingkat partisipasi WP dalam program TA di periode II dan III.

Referensi

Congdon, W.J., Kling, J.R. & Mullainathan, S. 2009. Behavioral economics and tax policy. National Tax Journal, LXIl, 375-386.

Reeson, A. & Dunstall, S. 2009. Behavioural economics and complex decision-making: Implication for the Australian tax and transfer system. CMIS Report No. 09/11. Canberra: Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO).

Smith, K.W. & Kinsey, K.A. 1987. Understanding taxpaying behavior: A conceptual framework with implications for research. Law & Society Review, 21, 639-663.

Thaler, R.H. 2015. Misbehaving. New York: W.W. Norton & Company Ltd.

Walsh, K. 2012. Understanding taxpayer behaviour – new opportunities for tax administration. Economic and Social Review, 43, 451-475.

World Bank 2015. World development report 2015: Mind, society, and behavior. Washington, DC: World Bank.