Make a strong start!

Cover for 'make a strong start'

Awal Perjalanan

Winners see the gain, losers see the pain. Kalimat inilah yang terus terngiang dalam pikiran saya saat melangkahkan kaki menuju pesawat yang akan membawa saya ke Sydney, Australia. Saat itu bulan puasa, medio Juli 2013, dua minggu menjelang Hari Raya Idul Fitri. Perasaan senang, sedih, dan was-was bercampur jadi satu. Senang karena akhirnya bisa berangkat kuliah S3 dengan beasiswa, sedih karena harus meninggalkan keluarga dalam kurun waktu yang lama, dan was-was karena menjalani tugas belajar di luar negeri untuk pertama kalinya. Ada banyak pertanyaan muncul dalam otak imajinasi saya: seperti apa nanti kuliahnya? seperti apa model belajarnya? seperti apa nanti ujiannya? Apakah nanti saya bisa lulus tepat waktu? 

Tak lama, pertanyaan ini mencapai puncaknya. Setelah sekitar satu bulan menempati sebuah ruangan di Quadrangle Building, salah satu bangunan ikonik dari University of New South Wales, saya dijadwalkan rapat untuk pertama kalinya dengan dua pembimbing saya: Profesor Chris Evans dan Profesor Binh Tran-Nam. Karena rapat pertama, agenda utama dari rapat ini adalah perkenalan awal. Saya bertanya kepada diri sendiri: apa yang perlu saya siapkan? Kebetulan saat itu saya teringat sebuah teknik bernama Johari Window—disebut Johari karena memang gabungan dari dua nama: Joseph Luft and Harry Ingham. Melalui diagram yang saya beri judul ‘my current profile as a research student’, saya mencoba memberikan gambaran awal diri saya kepada kedua supervisor sebagai mahasiswa yang akan mereka bimbing.

Apa yang saya uraikan dalam matrik Johari Window ini? Ada empat hal: (i) sumberdaya yang ada; (ii) kemampuan saat ini sebagai peneliti; (iii) ketersediaan dan akses terhadap data; dan (iv) waktu yang bisa dialokasikan untuk kegiatan riset. Saya rinci kelebihan dan kekurangan saya dalam tiap empat aspek tersebut. Dan, seperti terlihat dalam Gambar 1 dibawah, saya kemudian memberi masing-masing aspek sebuah skor. Apa skor terendah saya? Kemampuan awal sebagai peneliti—saya memberinya skor 6. Skor tertinggi? Sumber daya berupa waktu—saya memberinya nilai 8.

 

2018 02 26 - Johari Window
Gambar 1: Dalam dokumen ini penulis mencatat ada tiga karakter yang perlu dimiliki oleh seorang peneliti: positive mental attitude, persistence, dan resilience.

 

Renungan

Selesai menjalani studi, kini saya menyadari dokumen yang saat itu saya buat ternyata sangatlah berguna. Setidaknya karena dua alasan. Pertama, dokumen ini secara implisit memberikan tiga pertanyaan penting yang harus saya jawab selama menjalani tugas belajar: now what; so what; dan what next? Pertanyaan pertama berkaitan dengan kondisi yang ada saat ini, pertanyaan kedua berhubungan dengan kondisi yang ingin saya capai di akhir masa tugas belajar saya, dan pertanyaan ketiga berkaitan dengan bagaimana cara mencapainya.

Kedua, kini saya bisa menyimpulkan, karena esensi dari riset adalah ‘a process of discovery, menjalani kuliah doktoral harus siap untuk akrab dengan ketidakpastian. Dan, dokumen yang saya buat tadi membantu saya memetakan ketidakpastian yang ada. Setidaknya ada dua ketidakpastian yang harus diantisipasi: (i) terkait proses dan (ii) terkait hasil atau temuan riset. Pertama, terkait ‘proses’, ada banyak hal yang akan kita hadapi. Misalnya, ketidakpastian apakah proposal riset kita dianggap layak untuk dilanjutkan, ketidakpastian mengenai apakah studi pustaka kita dan gap of knowledge yang kita temukan sudah layak, ketidakpastian mengenai paradigma riset yang akan kita gunakan, ketidakpastian mengenai apakah kita bisa mendapatkan akses data yang sesuai dengan tujuan riset kita, ketidakpastian apakah kita mempunyai kemampuan analisis yang memadai untuk tujuan riset kita, ketidakpastian mengenai jangka waktu yang kita miliki. Singkatnya: your initial idea will not resemble your final product. Termasuk ketidakpastian apakah kita tetap bisa memelihara semangat kita selama proses riset.

Kedua, terkait hasil riset, kita mungkin saja tidak menemukan apa yang dari awal ingin kita temukan. Hipotesis kita mungkin tidak terbukti. Bahkan, saat kita ingin menguji secara empiris sebuah fenomena dan kemudian menyimpulkan adanya temuan riset, karena keterbatasan metode riset kita, masih ada empat kemungkinan yang bisa terjadi dari kesimpulan kita. Jika kita menggunakan alarm kebakaran dan kebakaran sebagai ilustrasi, ada empat kemungkinan yang mungkin terjadi dari temuan riset kita: (i) true positive, ibarat alarm kebakaran yang berbunyi karena memang terjadi kebakaran; (ii) false negative, seperti alarm kebakaran yang tidak berbunyi padahal ada kebakaran yang terjadi; (iii) false positive, seperti alarm kebakaran yang berbunyi padahal tidak ada kebakaran yang terjadi; atau (iv) true negative, alarm kebakaran yang tidak berbunyi karena memang tidak ada kebakaran yang terjadi. Idealnya tentu saja hasil yang pertama dan keempat yang ingin kita peroleh, tapi kemungkinan skenario kedua dan ketiga dapat terjadi tidak dapat kita hindari.

Itulah mengapa, seandainya saya ditanya sebuah pertanyaan biner, manakah yang lebih penting antara kecerdasan (intelligence) dan ketangguhan (resilience) ketika menjadi mahasiswa doktoral, tanpa ragu jawaban saya adalah yang kedua: ketangguhan. Kecerdasan jelas memang diperlukan, tapi ketangguhan akan membantu kita untuk terus bisa bertahan untuk akrab dengan ketidakpastian sampai dengan tujuan riset selesai. Dan ini membuat saya teringat satu kalimat yang dulu pernah diucapkan oleh teman baik saya dulu: doing a PhD does not make you smarter, it makes you wiser. Dan, ada satu pepatah yang menurut saya juga tepat untuk menggambarkan hal ini: pain makes you stronger; fear makes you braver; heartbreak makes you wiser. Dan ini sedikit banyak berkaitan dengan hikmah yang bisa kita ambil.

Hikmah

Apa hikmah dan manfaat yang bisa kita ambil dari adanya dua ketidakpastian dalam riset tadi?

Hikmahnya, dengan mendalami secara langsung proses riset, kita akan memahami dua hal penting: (i) bagaimana ‘ilmu pengetahuan’ dimaknai dan diciptakan—setidaknya dari mempelajari aspek ontologi, epistemologi, dan metodologi; dan (ii) bagaimana kemampuan berpikir kritis kita diuji dan diasah—setidaknya dari mempelajari struktur dan prosedur desain riset sekaligus proses pengumpulan dan analisis data.

Manfaatnya, di satu sisi, dua pemahaman tadi sepertinya tidak hanya berguna dalam dunia akademis dan dunia kerja saja, tapi juga untuk meningkatkan kualitas kehidupan pribadi kita—khususnya di era sekarang dimana informasi berlimpah ruah, yang tak jarang membuat kita kesulitan membedakan antara ‘opini’ dan ‘fakta’, antara ‘believed fact’ dan ‘checked fact’. Di sisi yang lain, dengan semakin banyak yang kita pelajari, kita semakin sadar bahwa yang kita pelajari sejatinya tidak lebih dari seujung tetes air dari samudra ilmu pengetahuan yang dalam dan luas (the more I know, the more I don’t know paradox). Kesadaran yang seharusnya bisa mengarahkan kita jalan menuju kerendahhatian dan kebijaksanaan.

Penutup

Inti dari tulisan ini sederhana—jika ingin lancar, untuk melanjutkan kuliah doktoral kita membutuhkan persiapan awal yang benar-benar matang. Tentu tidak ada konsensus mengenai definisi ‘lancar’ dalam menjalani kuliah S3. Setiap  perjalanan adalah unik bagi setiap orang yang menjalaninya.

Apakah kuliah saya bisa dibilang lancar?

Alhamdulillah, dengan kerja keras dan doa orang-orang tercinta, Tuhan memberikan kelancaran dalam kuliah saya. Indikasinya sederhana. Setidaknya, selain selesai tepat waktu, artikel tentang riset saya mendapat penghargaan ‘Best PhD Research Paper’ dalam 28th ATTA Conference 2016. Juga, selain mendapat nilai skor tertinggi, disertasi saya juga disebutkan sebagai ‘one of the most careful and clearly presented PhD theses I have ever seen’ oleh salah satu penguji eksternal, Profesor Richard M. Bird, begawan pajak dari University of Toronto, Kanada. Juga, dua tulisan saya (bersama dosen pembimbing) masuk dalam publikasi jurnal yang memiliki reputasi lumayan tinggi: eJournal of Tax Research (eJTR) dan Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES).

Terakhir, seandainya saya diminta memberi saran untuk rekan-rekan yang ingin melanjutkan kuliah S3 dalam sebuah kalimat, jawaban saya sederhana: apapun bentuknya, ‘make a strong start!’ Lakukan yang terbaik yang bisa dilakukan, sedini mungkin. It is not easy, but it is doable. Dan—ini yang terpenting—melakukan yang terbaik pada hakikatnya adalah salah satu bentuk rasa syukur kita atas kesempatan yang diberikan kepada kita.

 

10. Prof Chris Evans, Arifin, and Prof Binh Tran-Nam
Gambar 2: Penulis bersama pembimbing disertasi: Prof Chris Evans dan Prof Binh Tran-Nam

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s